Harga ayam jantan cemani biasa sampai Rp40 juta. Dibeli, lalu dibunuh, tak jarang setelah itu ditinggal begitu saja. Foto: Ayat S Karokaro |
Ayam cemani, diburu dan dibunuh demi mitos. Populasi
terus menurun setiap tahun dan jika tidak dicegah bukan mustahil bisa punah. Kokok ayam
bersahut-sahutan. Sebagian ayam berkeliaran. Ada jantan tengah mengejar
betina, ada yang asyik makan. Ada pula yang mengeruk tanah mungkin mencari
cacing. Ada yang menarik dari ayam-ayam ini. Seluruh bulu berwarna hitam.
Jengger, lidah, mata, paruh, sayap, sepasang kaki, cakar, dan kuku semua hitam.
Mereka ini disebut ayam cemani.
Kala itu,
Senin pagi, akhir Januari 2014, di Jalan Garu I, Medan Amplas, Medan, Sumatera
Utara (Sumut), beberapa pria menghampiri Untung, si pemilik ayam. Terdengar
obrolan serius membicarakan ayam-ayam itu. Rupanya,
mereka tengah negosiasi jual-beli ayam ini. Angka demi angka terdengar
keluar dari mulut mereka. Sampai, terdengar kata sepakat, setuju membeli seekor
cemani Rp8 juta. Sebelum
membawa cemani ke mobil, seorang pria mengeluarkan sebilah pisau, lalu memotong
leher ayam, sambil melihat darah yang keluar. Dia terkejut, ternyata darah ayam
berwarna merah. Ayam itu langsung dicampakkan begitu saja. Sang supir,
mendekati majikan, dan memasukkan Cemani ke mobil mewah yang terparkir di
pekarangan rumah Untung.
Saya
menghampiri Pak Untung yang tengah asyik menghitung hasil penjualan ayam.
Ketika ditanya soal darah hitam dia tersenyum. Lalu mengambil ayam dan menusuk
paha dengan jarum. Darah merah segar keluar. “Cerita soal darah hitam di ayam
itu mitos,” katanya.
Dia menduga,
mitos itu dihidupkan guna menarik minat pembeli. Untung bercerita,
ayam ini memiliki kisah tersendiri. Konon, dahulu kala, saat Kerajaan
Majapahit, ayam ini peliharaan raja dan keturunan. Ayam ini diyakini membawa
kedamaian, menambah rezeki, memudahkan jodoh, melariskan dagangan, hingga mampu
membawa kesuksesan negosiasi baik saat perang maupun konflik. Atas dasar
itulah, cemani menjadi buruan orang-orang berkantong tebal.
Pembeli
datang dari dalam meupun luar negeri. Akhir Desember 2013, katanya, datang pria
dari China, membeli jantan cemani berusia dua tahun. Pria itu menawar Rp20
juta. Menurut dia, akan memakan daging ayam karena dianggap sebagai obat.
“Saya jual
sudah bagus dan mantab. Namun, saya sedih, pria itu hanya memotong bagian leher
dan membawa pergi. Bagian tubuh lain dibuang begitu saja. Istrinya,
mencampakkan ke kandang anjing.”
Untung
mengatakan, ada dilema menjual Cimani ini. Tak jarang dia menyaksikan seorang
membeli anak ayam Rp120 ribu per ekor, lalu dibelah dalam keadaan hidup.
Setelah itu dibuang begitu saja.
Menurut
mitos, anak ayam ini bisa mendatangkan rezeki besar. “Padahal enggak. Itu mitos
semua. Karena menjadi peliharaan raja-raja maka memlihara sedikit bergengsi.
Harga Cimani bisa tembus Rp25 juta-Rp40 juta per ekor jika beruntung, ”
katanya. Karena harga selangit itulah Untung berhenti beternak ayam ini.
Data
Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Sumut, menyebutkan, kabupaten paling banyak
mengembangbiakkan ayam cemani, di Kabupaten Langkat ada 46 ekor, menyusul
Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) 37 ekor. Kota Medan di urutan ketiga
28 ekor.
Ahmad Zainal
Dalimunthe, tim gabungan Mapala Sumut, pernah survei soal ayam ini menjelaskan,
hasil kajian mereka 2011-2012, ayam ini terbilang banyak, mencapai 623 ekor di
Sumut.
Mereka hidup
di daerah tropis dan mayoritas memiliki kontur tanah sedikit lembab, dengan
suhu udara 25 hingga 27 derajat celcius. Namun, perburuan, hingga 2012-2013,
turun drastis kurang 300 ekor. “Mereka ada yang mati karena pakan ternak tidak
baik. Terbesar, diburu untuk dibunuh dengan tujuan mistis dan sama sekali tidak
benar.”
Dia
menyatakan, pada 16 Juni 2013, mereka menyurati Dinas Peternakan Sumut, agar
menyelamatkan ayam Cemani. Namun tak ada respon. “Kalau
ditangkap terus dimakan, tidak masalah. Ini ditangkap, dibunuh, dijadikan
sesajen. Kalau mau kaya dan rezeki banyak, ya kerja dong. Bukan
membantai.”