Jumat, 27 Desember 2013

Peristiwa Pencurian Jenazah Nabi Yang Gagal



Denmas Priyadi: "OJO DUMEH" - SABTU, 28 Desember 2013 09:36 WIB 

Slamet Priyadi
Peristiwa ini terjadi pada saat "Perang Salib" berkecamuk antara pasukan Islam dan Kristen. Sultan Nouruddin Zengky dari Syria yang ikut serta dalam peperangan itu, pada suatu malam bermimpi. Dalam mimpinya itu Sultan bertemu Nabi Muhammad S.A.W seraya menunjuk kepada dua orang lelaki, dan berkata: “Lepaskan aku dari dua orang ini!”  Sultan terkejut dan terjaga dari tidurnya, kemudian beliau berwuduk dan sholat sunnat. Setelah sholat sunnat, sultanpun tidur kembali, akan tetapi mimpi yang sama itupun kembali terulang. Sultanpun bangun kembali dan berwuduk lalu shollat sunnat lagi. Setelah sholat iapun tidur kembali, namun mimpi yang sama itupun datang lagi dalam tidurnya. Mimpi yang berulang-ulang sampai tiga kali tersebut sangat mengguncangkan pikirannya, lalu iapun mengutarakan ikhwal mimpinya itu kepada Jamaluddin Al-Mushally, seorang wazir yang saleh. Mendengar cerita dari Sultan Nouruddin Zengky tentang mimpi yang dialaminya tersebut, Jamaluddin Al-Mushally berkata: 

“Kenapa tuan masih di sini? Cepatlah kita berangkat ke Madinah, akan tetapi rahasiakanlah mimpi tuanku itu jangan sampai ada yang tahu!”

Ketika tengah malam mulai menjelang, berangkatlah Sultan Nouruddin dan Jamaluddin Al-Mushally bersama 20 orang pengawal dan pengiringnya dengan membawa pundi-pundi mata uang emas, permata yang mahal-mahal. 

Singkat cerita, sampailah rombongan Sultan Nouruddin Zengky tersebut  di kota Madinah, setelah beristirahat sejenak lalu sultan mandi, berwuduk kemudian melakukan sholat. Tak lama kemudian ia memerintahkan kepada pengawalnya untuk memanggil semua penduduk kota dan mengatakan bahwa ia datang ke kota Madinah hanya untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad dan akan membagi-bagikan hadiah kepada seluruh penduduk kota Madinah terutama bagi mereka yang tidak mampu.  
   
Demikianlah, Sultan Nouruddin Zengky kemudian membagi-begikan sebagian harta yang dibawanya kepada penduduk kota Madinah, dan semua merata masing-masing mendapatkan bagiannya. Akan tetapi ada 2 orang lelaki yang tidak mau menerima pemberian dari sultan tersebut, dan hal ini merupakan keanehan tersendiri yang mengundang pertanyaan di hati sultan, karena bukan suatu yang menjadi kebiasaan dari penduduk kota untuk menolak pemberian sultan. Mendapati keanehan ini, Sultan Nouruddin Zengky kemudian memerintahkan pengawalnya untuk memanggil ke dua orang lelaki tersebut untuk menghadapnya. Ketika sultan melihat wajah ke dua orang lelaki tersebut, ia teringat akan mimpinya, karena ke dua wajah lelaki itu sama persis dengan kedua orang lelaki yang ada dalam mimpinya yang ditunjuk oleh Nabi Muhammad S.A.W.

Menurut informasi dari para penduduk setempat, ke dua orang tersebut bukanlah dari Madinah melainkan pendatang yang berasal dari negeri Magribi, termasuk penduduk yang baik dan  saleh.  Keduanya sering sholat di Raudhah Nabi kemudian ziarah ke hujrah Nabi. Keduanyapun dikenal pemurah, sering berpuasa, dan membagi-bagikan sebagian hartanya kepada fakir miskin.

Mendengar laporan ini Sultan Nouruddin Zengky belum merasa puas, ia masih mencurigai kedua orang tersebut, ada apa di balik segala sikap kebaikannya? Sebab di dalam mimpinya Nabi Muhammad berulang-ulang bahkan sampai tiga kali agar menyelamatkan beliau dari kedua orang ini. Oleh sebab itu untuk mengetahui dengan mata kepala sendiri dengan apa sebenarnya yang telah diperbuat di Madinah, sultanpun pergi sendiri ke rumah kedua orang lelaki itu untuk mengetahui keadaan sesungguhnya keadaan ruang dalam rumahnya. Apa yang didapat disana, ternyata di dalam rumah tersebut terdapat banyak harta benda yang berlimpah, emas, perak, dan batu-batu permata yang mahal-mahal. Kemudian didapatinya pula sebuah lubang yang setelah diselidiki ternyata menuju ke hujrah Nabi (kubur Nabi). 
 
Singkat cerita, kedua orang Magribi itu kemudian ditangkap, diperiksa dan diberi hukuman yang setimpal dengan kesalahan yang diperbuatnya menurut Islam.  Dalam pengakuannya ternyata mereka adalah bukanlah orang Islam melainkan orang Kristen yang sengaja dibayar oleh tentara Salib untuk menggali dan mencuri jenazah Nabi Muhammad S.A.W. Setelah mendengar, melihat, dan menyaksikan sendiri peristiwa tersebut, alangkah terkejutnya umat Islam di kala itu, terasa gemetar sekujur tubuh mereka, geram sekali. Apa jadinya jika upaya mereka sampai berhasil mencuri jenazah Nabi, perlakuan ini sungguh tidak bisa ditolerir lagi, dan suatu perbuatan terkutuk yang tak bisa dimaafkan. Akhirnya kedua orang tersebut  mendapat hukuman setimpal yaitu dihukum mati. Kiranya demikianlah ta’wil mimpi Sultan Nouruddin Zengky itu. Kemudian atas perintah beliau pula, di sekeliling hujrah Nabi digali sedalam-dalamnya sampai bertemu dengan lapisan tanah yang mengandung air. Kemudian galian tersebut diurug dengan lempengan dan bongkahan tembaga hingga penuh sampai di permukaan bumi. Sampai sekarang di sekeliling hujrah Nabi di dalamnya terdapat beton yang terbuat  dari tembaga. Hal ini dilakukan agar tidak timbul kekhawatiran di kalangan umat Islam, jenazah Nabi Muhammad S.A.W akan dicuri orang. 

Sumber :
C. Israr 1978  "Sejarah Kesenian Islam." Jakarta, Bulan Bintang
Penulis :
Slamet Priyadi, Pangarakan, Bogor  
      

Salim HJ : “AMAL SHALEH BUKAN JAMINAN MASUK SURGA”

Denmas Priyadi: "OJO DUMEH" - Jumat, 27 Desember 2013 19:49 WIB


Tidak ada jaminan kalau orang yang tekun beribadah itu pasti masuk surga. Orang bisa masuk surga bukan ditentukan dengan melihat amal ibadahnya, tetapi karena memperoleh rahmat dan ridla Allah.
Rahmat dan rida Allah ini diraih dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sampai Rasulullah pun tidak berani menjamin seseorang masuk surga. Sebab yang menentukan orang itu bisa masuk surga atau neraka adalah Allah.
Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada seorang pun dari kalian yang amalnya bisa menyelamatkan dirinya”. Lantas para shahabat bertanya: “Termasuk engkau juga tidak bisa menyelamatkan?”. Beliau menjawab: “Aku juga tidak bisa meyelamatkan, kecuali Allah melimpahkan ampunan dan rahmatnya”. (Shahih Muslim. hal: VIII/140)  
Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada amal seorang pun yang bisa memasukkannya ke surga”. Lalu ditanyakan : “Engkau juga tidak bisa memasukkan ke surga?”. Beliau menjawab: “Aku juga tidak bisa, kecuali dengan limpahan rahmat Tuhanku”.  (Shahih Muslim.hal:VIII/140)
Jabir berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabada: “Amal salah seorang dari kalian tidak bisa menyebabkan memasukkan ke surga, dan tidak bisa menyebabkan terlempar ke neraka. Aku juga tidak bisa, melainkan dengan rahmat dari Allah”. (Shahih Muslim.hal:VIII/140)
Abdurrahman bin Auf mendapat hadis dari Aisyah r.a. istri Nabi saw, ia berkata: Rasulullah saw pernah bersabda: Istiqomah kalian, bertaqarrublah kalian dan bergembiralah kalian, sesungguhnya tidak ada amal seseorang pun yang bisa menyebabkan masuk surga”. para sahabat bertanya: “Termasuk engkau juga tidak bisa Ya Rasulullah ?”. beliau menjawab: “Aku pun tidak bisa, kecuali bila Allah melimpahkan rahmat-Nya. Karena itu beramallah kalian, sesungguhnya amal yang paling disukai Allah adalah yang langgeng meskipun sedikit”. (Shahih Muslim.hal: VIII/141)
Dengan demikian, seseorang tidak bisa mengandalkan amal ibadahnya sebagai jaminan bahwa dirinya nanti pasti masuk surga. hanya rahmat ridla Allah-lah yang bisa memasukkannya ke surga. oleh karena itu, dalam setiap menjalankan amal ibadah supaya didasari keikhlasan, semata-mata mencari ridla Allah, tidak karena yang lain. Sebab bila yang dicari itu surga dapat menjebak seseorang terjerumus dalam perbuatan takabbur. (Dikutip dari buku, Salim H.J. “Menyingkap 110 Misteri Alam Kubur”. Hal: 217. Penerbit  Lintas Media, Jombang)  
  
Posted By 
Slamet Priyadi - Pangarakan, Bogor

"POLEKSOSBUDA": Salim HJ : “AMAL SHALEH BUKAN JAMINAN MASUK SURGA”...: Poleksosbuda - Selasa, 12 Nov. 2013 - Tidak ada jaminan kalau orang yang tekun beribadah itu pasti masuk surga. Orang bisa masuk sur...

Kamis, 26 Desember 2013

Keteladanan Dan Keberanian Ali bin Abi Thalib (599-661)



Denmas Priyadi: "OJO DUMEH" - Kamis, 26 Desember 2013 - 18:14 WIB

SIAPA yang tak kenal dengan sosok yang satu ini, Ali bin Abi Thalib r.a yang dalam sejarah Islam keteladan akan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib semasa menjadi khalifah menjadi sejarah tinta emas yang hingga kini terus memantulkan cahaya kemilau mempesonakan dunia Islam.

Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Kota Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab atau tahun 599 Masehi dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, Asad merupakan anak dari Hasyim, Dengan demikian Ali adalah keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu. Menurut muslim Syi’ah Ali dipercaya lahir di dalam Ka’bah dengan nama Haydar bin Abi Thalib. Haydar berarti Singa. Sedangkan Baginda Nabi Muhammad SAW meberi nama Haydar dengan panggilan Ali yang berarti tinggi yaitu orang yang mempunyai derajat tinggi. Hal ini sejalan dengan keinginan dan harapan keluarga Abu Thalib (paman Nabi Muhammad) agar mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.

Pada usia 25 tahun setelah menikahi putri kesayangan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra, pecahlah Perang Badar yaitu perang yang pertama kali dalam sejarah Islam. Dalam perang Badar ini, Ali betul-betul menjadi prajurit yang gagah berani disamping Hamzah, paman Nabi. Banyak kaum Quraisy Mekkah yang memusuhi Islam tewas di tangan Ali. Begitu pula dalam Perang Khandaq. Keperkasaan dan kegagahberanian Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran sangat ditakuti lawan. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, tubuh Amar bin Abdi Wud yang sangat membenci Islam itu terbelah menjadi dua bagian. Dan yang tak kalah pentingnya adalah peran Ali bin Abi Thalib dalam Perang Khaibar. Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi. Ternyata dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecahlah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Perang Khaibar”.  Pada saat pasukan Islam dan para sahabat Nabi tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”.

Mendengar sabda Nabi, maka seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu dan mampu menghancurkan benteng Khaibar serta berhasil membunuh seorang prajurit musuh bernama Marhab dengan pedang Zulfikarnya.

Demikian beberapa peristiwa peperangan untuk mempertahankan ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW yang mencatat keberanian dan kegagahan serta keperkasaan Ali bin Abi Thalib di dalam setiap pertempuran yang diikutinya. Selain kegagahberanian Ali yang tercatat dalam sejarah, juga tak kalah pesonanya adalah keteladanan beliau baik sebelum dan sesudah menjadi pemimpin, khalifah.

Ali bin Abi Thalib r.a adalah seorang pemimpin yang benar-benar zuhud dan taqwa kepada Allah SWT. Hal ini terbukti saat beliau menduduki jabatan perbendaharaan Negara. Beliau benar-benar teruji kejujurannya dalam mengelola, mengurus, dan menjaga perbendaharaan Negara.

Ketika Ali bin Abi Thalib meduduki jabatan Khalifah ke-4 menggantikan Usman bin Affan r.a, beliau oleh kaum Muslimin di kota Kufah diharapkan agar segera menempati istana yang besar dan megah. Ketika Ali melihat istana itu ia berkata: “Aku tak mau menempati istana itu!” Akan tetapi penduduk Kufah tetap mendesak Khalifah Ali bin Abi Thalib agar mau menempati istananya karena Khalifah adalah jabatan yang dianggap mulia. Akan tetapi tetap saja Khalifah Ali menolaknya dengan keras,

“Terus terang aku tidak membutuhkan itu! Umar bin Khatab sendiri pun tidak menyukainya!” Jawab Khalifah Ali r.a.

Meskipun Ali bin Abi Thalib menjadi seorang khalifah, Kepala Negara Islam, beliau tidak sombong, tidak memanfaatkan jabatannya untuk hidup bermewah-mewah di dalam istana. Beliau tetap hidup seperti rakyat biasa. Beliau benar-benar empati terhadap kehidupan rakyat jelata.

Suatu ketika, seorang sahabat Ali tidak rela melihat sikap dan perilaku beliau yang mau menolong orang tua renta yang sedang membawa belanjaannya di pasar dengan tertatih-tatih dan sempoyongan, dan Ali bin Abi Thalib memanggul sendiri belanjaan orang tua renta itu sampai ke rumahnya. Sahabat itu datang menghadap kepadanya seraya berkata:

“Ya, Amirul Mukminin…Imam Ali r.a. mengapa tuan melakukan itu? Padahal masih banyak bawahan tuan yang bisa disuruh untuk membawakan barang-barang orang tua itu!”

Khalifah Ali bin Abi Thalib bisa memahami apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Segera ia pun menjawab pertanyaan sahabatnya dengan membawakan Firman Allah:

“Kampung akhirat itu Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri di bumi dan tidak berbuat kerusakan. Kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. al-Qashash:83)

Berkait dengan sifat kejujuran dan keamanahan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Seorang pembantunya yang bernama Qanbar, suatu ketika pernah menyaksikan, Khalifah Ali r.a. sedang menghadapi dua onggokan emas dan perak. Ia menghitungnya kemudian memanggil orang-orang agar datang mendekatinya. Emas dan perak itu lalu dibagi-bagikan kepada mereka hingga tak bersisa.

Sikap dan perbuatan Khalifah Ali r.a. yang demikian itu telah membuat cemas dan khawatir pembantunya, Qanbar. Ketika emas dan perak itu telah habis dibagi-bagikan kepada mereka semua sampai-sampai tak bersisa sedikit bagian pun untuk dirinya, Qanbar mendekati Khalifah Ali r.a. dengan mengatakan bahwa ia mempunyai barang sesuatu yang disembunyikan untuk Khalifah Ali r.a.

Sesampainya di rumah, Qanbar mengambil sesuatu yang telah disembunyikan yaitu sebuah kantong berisi kepingan-kepingan emas dan perak. Kantong itu lalu dibawa kembali dan dibuka di hadapan Khalifah Ali r.a. Dengan wajah berseri-seri ia berkata kepada Khalifah Ali:

“Aku lihat Tuan tidak pernah menyisakan barang apa pun yang tuan bagikan. Oleh karena itu, aku menyembunyikan ini dari Baitul Malkhusus buat Tuan”.

Melihat ini, betapa terkejut dan kagetnya Khalifah Ali r.a. Maka dengan wajah merah menahan amarah beliau berkata kepada pembantunya, Qanbar:   

“Celaka kamu Qanbar! Apakah engkau mau memasukkan kobaran api ke dalam rumahku?” Lalu Khalifah Ali bin Abi Thalib menghunus pedang Zulfikarnya, memotong-motong pundi-pundi yang berisi emas dan perak itu. Emas dan perak pun berhamburan di lantai. Segera Khalifah Ali r.a. menyuruh Qanbar untuk dibagi-bagikan kepada yang berhak menerimanya agar dibagikan secara adil.

Demikian kepribadian dan perangai Ali bin Abi Thalib r.a yang demikian agung dan mulia tertulis dengan tinta emas dalam sejarah Islam. Perjuangannya, keberaniannya, kejujurannya dan keamanahannya dalam menegakkan keadilan dan kebenaran sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamiin, rahmat bagi seluruh alam.

Sumber:
Nurhayat Alhadar - Kumpulan Kisah Para Nabi dan Sahabat – Penerbit Mizan
Penulis:
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor

Kisah Syeh Siti Jenar Berdebat Agama Dengan Ki Kebokenongo



Slamet Priyadi: “OJO DUMEH” -  Kamis, 26 Desember 2013 – 17:04 WIB

Kisah ini berawal ketika Ki Kebokenongo yang dikenal juga dengan sebutan Ki Ageng Pengging berniat memberontak terhadap penguasa Demak, Sultan Bintoro. Berita tentang  pemberontakan yang akan dilakukan Ki Kebokenongo itu sampai juga ke telinga Syeh Siti Jenar.  Maka Syeh Siti Jenar pun berangkat ke Pengging  menemui Ki Kebokenongo.  Hal tersebut dilakukan Syeh Siti Jenar oleh karena Ki Kebokenongo mempunyai niat dan tujuan yang sama dengan dirinya, berniat memberontak terhadap Demak. Selain itu ia memiliki kepercayaan dan pandangan agama yang sejalan dengan dirinya.  Setiba di desa Pengging Syeh Siti Jenar langsung menjumpai Ki Kebokenongo di rumahnya.  Setelah mengucap salam, berkatalah Syeh Siti Jenar kepada  Ki Kebokenongo:

     “Ki Ageng Kebokenongo, aku mendengar kabar Ki Ageng berselisih kekuasaan dengan Sultan Bintoro dan hendak memberontak terhadap Demak, benarkah itu?”

Mendengar pertanyaan yang tak diduga-duga dan bersifat pribadi dari Syeh Siti Jenar, orang yang belum dikenalnya secara dekat dan mendalam, Ki Kebokenongo sedikit terperanjat. Dengan senyum dikulums ia berkata kepada Syeh Siti Jenar:

     “Wahai kisanak, siapakah tuan ini, dan dari manakah?”  

Mendengar jawaban Ki Kebokenongo seperti itu Syeh Siti Jenar menjadi heran, sebab meskipun tidak sering bertemu Ki Kebokenongo, tetapi ia pernah beberapa kali berbincang-bincang bertukar pikiran soal kepercayaan, agama dan masalah keadaan situasi politik di Demak yang dirasakan semakin  tidak kondusif lagi.  Dengan perasaan sedikit kecewa yang dipendam, Syeh Siti Jenar berkata kepada Ki Kebokenongo dengan penuh rasa keakraban penuh persahabatan:

     “Walah, walah,walaaah...Ki Ageng ini piye, tho? (KI Ageng ini bagaimana?) Apa sudah lupa dengan aku, Syeh Siti Jenar seorang hamba sahaya yang mendapat derajat tinggi secara tiba-tiba, dan orang menyebut aku seorang wali. Berbeda dengan Ki Ageng yang masih keturunan raja, kaum bangsawan yang memerintah pulau Jawa ini.  Tetapi sekarang hidup susah, tinggal di desa menjadi petani, bercocok tanam dan menanam padi dan palawija karena perlakuan Sultan Bintoro, raja Demak yang tamak itu”.

     “Oya, ya, ya... Aku baru ingat sekarang, maafkan aku Syeh Siti Jenar, sungguh aku tak menduga dan tak mengenalimu sebab penampilanmu jauh berbeda.  Jenggot, kumis, rambutmu agak panjang sekarang, dan pakaianmu pun semakin hitam gelap segelap dan hitamnya kehidupan sekarang . Namamu pun  semakin terkenal di kalangan masyarakat maupun di kalangan pemerintahan bahkan di seantero Jawa ini, dan banyak pula yang menyebutmu dengan sebutan Syeh Lemah Abang.  Mari, jangan sungkan-sungkan,  Syeh!  Anggap saja ini seperti di padepokanmu. Oya, Sekarang apa lagi yang akan kau bicarakan sebab aku pun ingin tahu maksud dan tujuanmu datang kemari yang jauh dari keramaian kota hanya desa terpencil, Pengging yang sekarang sebagai tempat aku tinggal mengelola sebidang tanah dan sawah, tempat mesu diri memikirkan kehidupan yang  semakin aku tak mengerti, penuh kemunafikan, keserakahan, ketamakan, intrik-intrik, dan ambisi pribadi untuk mendapatkan kekuasaan dan jabatan seperti yang terjadi di Demak Bintoro ini sebagaimana yang tadi Syeh Siti Jenar katakan.”

     “Baiklah Ki Ageng, sebenarnya aku sudah lama ingin berkunjung ke sini untuk menemuimu membicarakan tentang keadaan negeri, bertukar pendapat, pikiran dan pandangan terkait dengan kehidupan keagamaan dan kepercayaan yang kita sebarkan kepada santri-santri kita dan masyarakat kita di Demak Bintoro ini yang semakin terasa tidak nyaman karena ajaran-ajaran kita dianggap nyeleneh dan sesat ke luar dari ajaran Islam. Dan sungguh aku sangat mendukungmu dan akan membantu sekuat jiwa raga dan pikiran jika rencana untuk memberontak terhadap Demak itu jadi kau laksanakan.” Demikian  Syeh Siti Jenar menyampaikan pikiran, pendapat, dan pandangan  serta dukungan penuhnya terhadap Ki Kebokenongo, sambil tak lupa mengelus kumis dan jenggotnya yang hitam agak keputihan itu.

     “Baiklah, Syeh Siti Jenar! Aku sangat berterima kasih sekali dengan dukunganmu. Akan tetapi sebaiknya fokus pembicaraan kita belum mengarah ke sana, ke rencana pemberontakan itu,  karena semuanya itu tentu memerluan persiapan yang matang baik secara fisik, mau pun non fisik, dan yang utamanya lagi adalah persiapan materi logistiknya karena masyarakat kita, santri-santri kita masih belum siap untuk melakukan pekerjaan besar seperti itu.  Marilah kita membahas yang berkait dengan keagamaan kita karena terus terang aku butuh ketenangan jiwa, dan  itu kutemukan saat aku mesu diri  mendalami, mengkaji, merenung diri apa arti sejatinya sebuah kehidupan.” Demikian kata-kata Ki Kebokenongo menanggapi pendapat Syeh Siti Jenar.

   “Jika demikian adanya, aku sangat sependapat denganmu, Ki Kebokenongo. Aku sangat bersyukur jika pendapat dan pemikiran kita masih bisa dipersatukan, dan mari kita bersatu tekad untuk tetap memegang teguh ajaran kita masing-masing meskipun taruhannya  tubuh kita akan hancur lebur akan tetapi ajaran-ajaran kita akan terus tetap berkembang sampai di hari kemudian menuju alam kelanggengan. Sekarang, marilah kita segera menyembelih ayam berbulu putih seluruhnya dengan nasi putih yang dicampur garam sedikit sebagai alasnya.”

Selanjutnya Ki Kebokenongo yang dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Pengging menyuruh kepada istrinya untuk menyembelih seekor ayam  berbulu putih dan mempersiapkan nasi putih untuk acara selamatan pada malam harinya. Menjelang senja saat petang hari, masakan disajikan ditutupi dengan kain yang juga berwarna putih. Syeh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging duduk di serambi sanggar berbincang membahas tentang agama Hindu, Budha, dan Islam.

Sambil  menanti malam tiba, Ki Ageng Pengging mengawali diskusi dengan membahas tentang ajaran agama Hindu-Budha, sedangkan Syeh Siti Jenar mengulas agama Islam yang disampaikan dengan cara  yang menarik sekali. Kalimat-kalimat yang disampaikan jelas dan tersetruktur sehingga mudah ditangkap dan dicerna. Ki Ageng Pengging mendengarkan  secara serius dan penuh perhatian.  Menikmati kata demi kata, kalimat demi kalimat yang disampaikan Syeh Siti Jenar. Dan  Pada akhirnya mereka berdua berkesimpulan bahwa meskipun agama yang mereka anut berdua masing-masing berbeda, akan tetapi hakikatnya adalah sama bahwa agama itu mengajarkan tentang kebenaran, menuntun manusia, bagaimana manusia harus bersikap kepada Tuhan, kepada manusia, dan kepada alam.

Mereka berdua, Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar  sangat menikmati debat dan diskusi agama itu, sehingga tak terasa malam pun  mulai merayapi desa Pengging. Cuaca dingin merasuk mengelitik tubuh, kabut tipis menggumul  depan serambi rumah Ki Ageng Pengging menambah cuaca malam itu semakin dingin. Tak lama kemudian mereka berdua  masuk ke dalam sanggar lalu masing –masing mengambil kain putih yang dipakai sebagai penutup hidangan. Syeh Siti Jenar duduk menghadap ke utara, sedangkan Ki Ageng Pengging menghadap ke selatan, mereka saling berhadap-hadapan.  Mereka berdua akan saling bertanya dan menjawab  secara makrifat, berargumentasi dengan saling debat menurut pemikiran dan kebenaran mereka masing-masing. 

Bertanyalah Syeh Siti Jenar kepada Ki Ageng Pengging:

     “Ki Ageng Pengging, sesungguhnya dimanakah Yang Maha Kuasa itu?”

Ki Ageng Pengging diam saja tak menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar. Sejenak kemudian ia berkata menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar dengan sebuah  pertanyaan pula:

     “Syeh Siti Jenar, menurutku jawaban pertanyanmu ada dalam pertanyaanku ini, ‘dimanakah pintu kematian itu?’ bisakah Syeh  menjawabnya?!

Menerima pertanyaan Ki Ageng Pengging, Syeh Siti Jenar diam tak bisa menjawabnya. Lalu mereka berdua pun saling merenung memikirkan kedua pertanyaan yang Saling mereka ajukan. Tak beberapa lama kemudian Ki Ageng Pengging berkata kepada Syeh Siti Jenar:    

     “Syeh Siti Jenar, besok aku akan menemukan kolong dunia.”

Menjawab Syeh Siti Jenar dengan cepat:
 
     “Itu salah besar Ki Ageng!”

Ki Ageng Pengging berkata:

     “Apakah saya akan masuk dan harus masuk ke alam kesunyian, seperti saat saya belum    dilahirkan?”

Jawab Syeh Siti Jenar:

     “Itu pun juga tidak benar, Ki Ageng!”

Ki Ageng Pengging melanjutkan kata-katanya:

   “Apakah saya akan sejiwa denganyang gaib, ‘Yang mandiri secara pribadi, menyatukan diri dengan keinginan, berubah menjadi air mani agar dapat melakukan penitisan, seribu hari makan irisan tipis-tipis sedangkan sedekahnya adalah mayat saya.”

Syeh Siti Jenar tetap menyangkal semua pendapat Ki Ageng Pengging yang dianggapnya salah dan tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang kuat dan masuk akal.  Akhirnya Ki Ageng Pengging merasa bahwa tingkat ilmu kemakrifatannya masih di bawah Syeh Siti Jenar dan dia memohon kepada Syeh Siti Jenar untuk menjadi muridnya memberikan nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan tentang  siapa, dan dimana Yang Maha Kuasa itu? Syeh Siti Jenar kemudian menjelaskan tentang, ‘Uning, Unong, Unang.’

Ki Ageng Pengging menyimak semua dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian apa yang diuraikan Syeh Siti Jenar akan tetapi ia masih belum menerima sepenuhnya ajaran Syeh Siti Jenar. Saat ia masih merenung memikirkan ajaran Syeh Siti Jenar, ia terkejut karena Syeh Siti Jenarbertanya kepadanya tentang dimana pintu kematian itu. Menjawab pertanyaan Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging menunjukkan telunjuknya ke arah bagian leher. Syeh Siti Jenar dapat memahami dan mengerti maksudnya. Selanjutnya, Syeh Siti Jenar menyantap daging ayam yang disajikan, memegang isi perut ayam seraya  berkata:

     “Apakah in sarang angin?”

Ki Ageng Pengging mengibas-ngibaskan kedua tangannya, memadamkan lampu dalam sanggar.  Mereka berdua tertawa bersama-sama karena menyadari bahwa sesungguhnya mereka masih diliputi oleh kegelapan tentang uning, unong yang menggambarkan kematian itu.
Tiga hari tiga malam sudah Syeh Siti Jenar berada di sanggar Ki Ageng Pengging membahas agama Hindu, Budha, dan Islam Ki Kebo Kenongo alias Ki Ageng Pengging itu. Pada akhirnya mereka menemukan kesepakatan, bahwa di antara kepercayaan mereka berdua tidak ada bedanya. Syeh Siti Jenar pun mohon diri utuk kembali  ke desanya, Krendhasawa. (SP091257)

Referensi:
YB. Prabaswara, Siti Jenar Cikal Bakal Faham Kejawen, Jakarta, Armedia  
Penulis:
Slamet Priyadi di bumi Pangarakan – Bogor
Rabu, 25 Desember 2013 – 15:10 WIB

Mengeliminasi Pikiran-Pikiran Negatif



Slamet Priyadi: "OJO DUMEH" – Kamis, 26 Desember 2013 – 15:36 

Denmas Priyadi
Dalam benak kita sering muncul pikiran-pikiran negatif yang merasuk ke dalam diri kita yang secara langsung maupun tidak langsung pikiran-pikiran tersebut mempengaruhi perilaku kita dalam aktivitas kerja kita sehari-hari. Misalnya, berpikir saya tidak mampu, tidak bisa mengikuti pelajaran, tidak mampu berpikir dengan baik, berpikiran malas, dan lain sebagainya. Dan, apabila pikiran-pikiran negatif tersebut tidak kita perangi, tidak kita bunuh secepatnya, tentu ia akan menjadi monster ganas yang akan memangsa semua potensi motivasi dan kemauan yang ada dalam diri kita. Bisa kita bayangkan jika di dalam diri kita sudah tak ada lagi motivasi dan kemauan, jika seorang pelajar atau mahasiswa tak lagi memiliki kemauan untuk belajar? Padahal spirit kemauan dan motivasi belajar merupakan energi penggerak untuk terus belajar. Di situlah letak permasalahan sesungguhnya. Kita telah terbelenggu pikiran-pikiran negatif yang notabene ada dalam diri kita sendiri.

Memang harus ada tekad dan kemauan yang kuat untuk memeranginya. Menghilangkan dan mebuang jauh-jauh pikiran-pikiran negatif itu, terutama pada saat pemunculan awalnya.  Instrumen untuk melenyapkan semuanya itu adalah dengan berpikir secara rasional. Ya, berpikir secara rasional. Hal ini sebagaimana Nabi Muhammad Shallallâhu’alayhi Kwa Sallam acapkali menganjurkan kepada kita agar membuang jauh-jauh pikiran negatif yang muncul dan melintas dalam pikiran kita. “Berkemauan keraslah terhadap sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi kamu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa tidak mampu.”(H.r. Muslim).

Nah, hadis Rasulullah tersebut berpesan kepada kita agar berupaya keras memerangi, menghapus dan membuang jauh-jauh semua  pikiran-pikiran negatif seperti telah disebutkan diatas. Belum apa-apa sudah merasa tidak mampu, malas berpikir yang kesemuanya itu membentuk mental kita menjadi lemah tak berdaya, tidak bersemangat dan tidak memiliki kemauan dan motivasi yang kuat untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri kita.

Memang, melenyapkan pikiran-pikiran negatif bukan satu pekerjaan mudah seperti apa yang kita baca dalam teori. Akan tetapi jika itu tidak dimulai dan segera dilakukan, maka hanya penyesalan yang akan kita dapatkan.

Sobat, berikut adalah tips untuk latihan mengeliminasi pikiran-pikiran negatif yang disusun dalam bentuk beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Saya kutip dari buku tulisan Dwi Budiyanto “Propetic Learning” halaman 40-41:

No.
Pertanyaan
jawaban

1.


2.


3.


4.
Pikiran-pikiran negatif apa saja yang sering muncul dalam diri anda, yang sangat mempengaruhi setiap tindakan anda?
Pikirkan  penyebab munculnya pikiran-pikiran negatif itu. Adakah ia disebabkan karena peristiwa masa lalu, atau kerena sebab-sebab lain?
Apakah menurut Anda pikiran-pikiran negatif itu akan membuat Anda lebih nyaman dalam belajar dan meraih kesuksesan?
Sebutkan sepuluh manfaat yang Anda peroleh ketika Anda masih dihinggapi pikiran-pikiran itu!
Sekarang apa yang harus Anda lakukan terhadap pikiran-pikiran negatif yang masih melekat dalam diri anda?


Posted:
Slamet Priyadi Pangarakan, Bogor