Rabu, 26 Februari 2014

Ayam Cemani, Harga Selangit dan Dibunuh Hanya Gara-gara Mitos



Oleh Mongabay.co.id | Mongabay
 
Harga ayam jantan cemani biasa sampai Rp40 juta. Dibeli, lalu dibunuh, tak jarang setelah itu ditinggal begitu saja. Foto: Ayat S Karokaro
Ayam cemani, diburu dan dibunuh demi mitos. Populasi terus menurun setiap tahun dan jika tidak dicegah bukan mustahil bisa punah. Kokok ayam bersahut-sahutan. Sebagian ayam berkeliaran. Ada jantan tengah mengejar betina, ada yang asyik makan. Ada pula yang mengeruk tanah mungkin mencari cacing. Ada yang menarik dari ayam-ayam ini. Seluruh bulu berwarna hitam. Jengger, lidah, mata, paruh, sayap, sepasang kaki, cakar, dan kuku semua hitam. Mereka ini disebut ayam cemani.
 
Kala itu, Senin pagi, akhir Januari 2014, di Jalan Garu I, Medan Amplas, Medan, Sumatera Utara (Sumut), beberapa pria menghampiri Untung, si pemilik ayam. Terdengar obrolan serius membicarakan ayam-ayam itu. Rupanya, mereka tengah negosiasi jual-beli  ayam ini. Angka demi angka terdengar keluar dari mulut mereka. Sampai, terdengar kata sepakat, setuju membeli seekor cemani Rp8 juta. Sebelum membawa cemani ke mobil, seorang pria mengeluarkan sebilah pisau, lalu memotong leher ayam, sambil melihat darah yang keluar. Dia terkejut, ternyata darah ayam berwarna merah. Ayam itu langsung dicampakkan begitu saja. Sang supir, mendekati majikan, dan memasukkan Cemani ke mobil mewah yang terparkir di pekarangan rumah Untung.

Saya menghampiri Pak Untung yang tengah asyik menghitung hasil penjualan ayam. Ketika ditanya soal darah hitam dia tersenyum. Lalu mengambil ayam dan menusuk paha dengan jarum. Darah merah segar keluar. “Cerita soal darah hitam di ayam itu mitos,” katanya.

Dia menduga, mitos itu  dihidupkan guna menarik minat pembeli. Untung bercerita, ayam ini memiliki kisah tersendiri. Konon, dahulu kala, saat Kerajaan Majapahit, ayam ini peliharaan raja dan keturunan. Ayam ini diyakini membawa kedamaian, menambah rezeki, memudahkan jodoh, melariskan dagangan, hingga mampu membawa kesuksesan negosiasi baik saat perang maupun konflik. Atas dasar itulah, cemani menjadi buruan orang-orang berkantong tebal.

Pembeli datang dari dalam meupun luar negeri. Akhir Desember 2013, katanya, datang pria dari China, membeli jantan cemani berusia dua tahun. Pria itu menawar Rp20 juta. Menurut dia, akan memakan daging ayam karena dianggap sebagai obat.

“Saya jual sudah bagus dan mantab. Namun, saya sedih, pria itu hanya memotong bagian leher dan membawa pergi. Bagian tubuh lain dibuang begitu saja. Istrinya, mencampakkan ke kandang anjing.”
Untung mengatakan, ada dilema menjual Cimani ini. Tak jarang dia menyaksikan seorang membeli anak ayam Rp120 ribu per ekor, lalu dibelah dalam keadaan hidup. Setelah itu dibuang begitu saja.
Menurut mitos, anak ayam ini bisa mendatangkan rezeki besar. “Padahal enggak. Itu mitos semua. Karena menjadi peliharaan raja-raja maka memlihara sedikit bergengsi. Harga Cimani bisa tembus Rp25 juta-Rp40 juta per ekor jika beruntung, ” katanya. Karena harga selangit itulah Untung berhenti beternak ayam ini.
Data Komunitas Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Sumut, menyebutkan, kabupaten paling banyak mengembangbiakkan ayam cemani, di Kabupaten Langkat ada 46 ekor, menyusul Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel)  37 ekor. Kota Medan di urutan ketiga 28 ekor.

Ahmad Zainal Dalimunthe, tim gabungan Mapala Sumut, pernah survei soal ayam ini menjelaskan, hasil kajian mereka 2011-2012, ayam ini terbilang banyak, mencapai 623 ekor di Sumut.

Mereka hidup di daerah tropis dan mayoritas memiliki kontur tanah sedikit lembab, dengan suhu udara 25 hingga 27 derajat celcius. Namun, perburuan, hingga 2012-2013, turun drastis kurang 300 ekor. “Mereka ada yang mati karena pakan ternak tidak baik. Terbesar, diburu untuk dibunuh dengan tujuan mistis dan sama sekali tidak benar.”

Dia menyatakan, pada 16 Juni 2013, mereka menyurati Dinas Peternakan Sumut, agar menyelamatkan ayam Cemani. Namun  tak ada  respon. “Kalau ditangkap terus dimakan, tidak masalah. Ini ditangkap, dibunuh, dijadikan sesajen. Kalau mau kaya dan rezeki banyak, ya kerja dong. Bukan membantai.”

Sabtu, 22 Februari 2014

Jejak 'Negara' Jawa (2-habis) Oleh: Afriza Hanifa


Peta Jawa kuno.

Basicbali.net - Kamis, 20 Februari 2014, 10:59 WIB - Pascamangkatnya Panembahan Senapati ing Alaga, putranya dari selir putri asal Pati, Raden Jolang, kemudian naik takhta.

Pada masa pemerintahannya pada 1601 sampai 1613, Raden Jolang menyempurnakan pembangunan kota yang dikenal sebagai Kota Gede.

Kemudian penerus selanjutnya, yakni cucu Senapati ing Alaga, yakni RM Jatmiko atau Pangeran Rangsang, menjadi titik balik Kesultanan Mataram. Ia juga bergelar Sultan Agung Senapati ing Alaga atau lebih dikenal dengan Sultan Agung, membawa kesultanan ke puncak kejayaan.

Kerajaan Mataram mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Agung yang memerintah pada 1613-1645. Pada waktu itu wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.

“Sebelum VOC menganeksasi wilayah negara Mataram sampai abad ke-17, seluruh kekuasaan Mataram dibagi menjadi beberapa kesatuan wilayah besar yang berkedudukan di keraton sebagai pusatnya. Istana dan keraton raja disebut sebagai 'Kutanegara' atau 'Kutagara' yang terletak di ibu kota negara,” ujar Marwati dan Nugroho dalam buku yang sama, namun seri keempat, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia.

Kemunduran
Pascakepemimpinan Sultan Agung, kerajaan mengalami kemunduran. Berangsur-angsur wilayah kekuasaan makin menyempit. Hal tersebut, menurut Marwati dan Nugraho, akibat aneksasi yang dilakukan oleh VOC, sebagai imbalan intervensinya dalam pertentangan-pertentangan intern.

Pada masa pemerintahan pengganti Sultan Agung, yakni putranya yang bernama Amangkurat atau yang sering disebut dengan Amangkurat I, banyak terjadi pemberontakan. Sang sultan juga dekat dengan VOC, akibatnya kekuasan politik Mataram saat itu benar-benar tergoncang.

Salah satu  yang terkenal saat itu dipimpin Trunojoyo. Pemberontakan tersebut membuat Amangkurat I melarikan diri hingga kemudian wafat. Sebelum wafat, ia sempat mengangkat Adipati Anom atau Sunan Amangkurat II sebagai penerusnya.

Namun, sang penerus tak mampu memulihkan kejayaan Mataram. “Sejak pemerintahan, baik Sunan Amangkurat I maupun Sunan Amangkurat II dan seterusnya, kerajaan Mataram Islam sampai Perang Giyanti tahun 1755 terus menerus mengalami penurunan pengaruh politik VOC,” ujar Marwati dan Nugraha.

Setelah Perang Trunojoyo berkhir pada 1678, Mataram harus melepaskan daerah Karawang, sebagian Priangan dan Semarang. Demikian pula setelah perlawanan Untung Surapati dipadamkan pada 1705, daerah Cirebon, sisa Priangan, dan separuh bagian timur Pulau Madura dianeksasi Belanda.

Selanjutnya, setelah Perang Cina berakhir pada 1743, seluruh daerah Pantai utara Jawa dan seluruh Pulau Madura sudah dikuasai Belanda. Wilayah negara makin sempit dengan berakhirnya Perang Giyanti pada 1755, dimana Mataram dipecah menjadi dua bagian, yakni Surakarta dan Yogyakarta.

Melalui perjanjian Giyanti itulah Kerajaan Mataram Islam dipecah menjadi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta (Solo).
 

Redaktur : Chairul Akhmad


Tiga Sajak Pendek Slamet Priyadi







" S E N G A T "
Oleh SP091257

dusta adalah sengat iblis
cengkeram maut sirnakan iman
sulur menjalar gosip bertebar
ingkar melingkar dusta melebar
menyengat hati nan pedih perih

K E N A P A ?
Oleh SP091257

kenapa kita hanya memiliki
satu mulut dan dua telinga?
itu artinya,
banyaklah mendengar
dan sedikitlah bicara

orang yang banyak bicara
biasanya sukar mau mendengar
keinginannya hanya ingin didengar

"ASUMSI"
Oleh: SP091257

dalam segala hal
kita sering berasumsi
menangkap maksud orang lain
dengan referensi
dan kebenaran diri sendiri

asumsi mengakibatkan kekacauan
sumber kesalahpahaman
merebakkan pertengkaran
konflik dan perpecahan

Jumat, 21 Februari 2014

Jejak 'Negara' Jawa (1) Oleh: Afriza Hanifa



Peta Jawa Kuno
 Puncak kejayaan terjadi pada masa pemerintahan Sultan Agung.


Basicbali.net - Kamis, 20 Februari 2014, 10:16 WIB - Hadiah sebuah lahan dari Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya, kepada Ki Ageng Pamanahan menjadi awal mula berdirinya Kerajaan Mataram.

Siapa sangka lahan di pedalaman Jawa yang dihadiahkan atas jasa Ki Ageng Pamanahan yang berhasil mengalahkan Sunan Prawata itu kemudian berkembang menjadi kerajaan besar di tanah Jawa. Serta merta kerajaan Demak dan Pajang mulai layu dan tumbuhlah sebuah kerajaan baru yang besar, Kesultanan Mataram Islam.

Pada masa Kerajaan Hindu Buddha, terdapat pula sebuah kerajaan bernama Mataram yang dikenal sebagai Mataram Kuno atau Mataram Hindu. Namun, keduanya tak berkaitan. Yang dibicarakan di sini merupakan Kesultanan Mataram Islam yang memimpin tanah Jawa pada abad ke-16. Adapun Mataram Kuno eksis di abad kedelapan hingga ke-10.

Jika jalan-jalan ke Kota Gede Yogyakarta, akan sangat banyak ditemui bekas peninggalan Kesultanan Mataram Islam. Masjid, pasar, keraton, bekas benteng, hingga makam menjadi saksi pernah berdirinya sebuah kerajaan besar di tanah Jawa tersebut.

Kesultanan tersebut menguasai seluruh Jawa (kecuali Batavia dan Banten), bahkan hingga Madura. Sebuah “negara” Jawa berdiri tangguh selama ratusan tahun.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia menyebutkan, Mataram merupakan kawasan subur yang terletak di antara Kali Opak dan Kali Praga yang mengalir ke Samudra Hindia.

Lahan yang subur tersebut kemudian memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan pusat Kerajaan Mataram. Daerah yang dihadiahkan dari Pajang tersebut kemudian oleh Ki Ageng Pamanahan, anak Ki Ageng Ngenis didirikanlah sebuah keraton pada 1578.

Setelah beberapa tahun mendiami keraton, Ki Ageng Pamanahan atau Ki Ageng Mataram wafat pada 1584. Penggantinya adalah putranya, Senapati ing Alaga, yang pada masa mudanya bergelar Ngabehi Loring Pasar. Ia bukan lain merupakan menantu Sultan Pajang, yakni Sultan Hadiwijaya.

Pada masa pemerintahannya, Mataram memperluas daerah kekuasaan ke wilayah sekitarnya termasuk daerah pesisir utara, kemudian ke daerah-daerah di Jawa bagian timur maupun ke daerah Jawa bagian barat.

Pajang yang berada di bawah kekuasaan Mataram berubah menjadi kadipaten dan diperintah Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya. Kecuali Pajang, Demak juga dikuasainya yang kemudian ditempatkan seorang dari Yuwana, daerah Kedu dan Bagelen juga dapat dikuasai.

Madiun pada 1590 mengakui kekuasaan Mataram, demikian pula Surabaya, selanjutnya, “Mataram menaklukkan Kediri. Panembahan Senapati ing Alaga juga meluaskan daerah kekuasaan dan pengaruhnya ke bagian barat sampai ke Priagan Timur dan Kesultanan Cirebon,” ujar Marwati dan Nugraha.