Sabtu, 04 Juli 2015

CATATAN PUISI BULAN PEBUARI KARYA SLAMET PRIYADI

“PERISTIWA SEPULANG KERJA”
By Slamet Priyadi

Saat pulang kerja pada hari Senin, tanggal dua bulan Febuari
Tepat pada pukul lima tiga puluh lima sore jelang petang hari
persis di muka rumahku Kp Pangarakan daerah Bogor Ciawi
Saat Matahari Senja benamkan diri sembunyi di balik Pertiwi
Motor ojek langganan yang biasa aku tumpangi pun berhenti

Kuambil uang limaribuan dari saku baju kemeja seragam biru
Lalu  kuberikan pada ojek langganan yang tersipu malu-malu
Akupun masuklah  ke dalam rumah duduk di bangku bambu
Sambil reguk seteguk kopi hangat yang baru dibuatkan istriku
Aku lepas segala lelah segarkan kepenatan yang mengganggu

Baru sepuluh menit nikmati kopi hangat, aku dengar dan lihat
Di depan rumah orang-orang pada berteriak pating mencelat,
“Aya oray tanah, aya oray kobra, hayu paehan, hayu paehan!”
Aku segera lari lompat ke luar rumah turut ikutan melihat-lihat
Hand phoneku yang ada di lopa ikat pinggang aku pegang kuat

Dalam selokan yang berair keruh ular hitam kencang  menjalar
Terus dikejar dipukuli, dipentungi, digetoki dengan kayu galar
Ular kobra tanah besar tak berdaya sakit menggelepar-gelepar
Menoba bersembunyi di balik batu besar tubuhnya melingkar
Tetapi akhirnya ular itu terkapar kepalanya pecah kemepyar

Kamis, 05 Februari 2015-21:21 WIB
Slamet Priyadi
Di Kp. Pangarakan, Bogor


ORANG GILA MISTERIUS
Karya: Slamet Priyadi

Orang tua gila itu bertubuh kurus dan kumal
Berambut  gimbal  panjang  dan  menggumpal
Berwajah  muram, lusuh, kotor, dan berdaki
Gering berbaring  di emperan toko yang sepi
Depan SPN Lido jalan raya Ciawi-Sukabumi

Sejak  jam tiga pagi  hingga sampai sore hari
Orang tua gila itu tak jua mau beranjak pergi
Tak ada seorangpun yang peduli dan empati
Pada nasib orang tua gila itu yang barang kali
Haus dan lapar sebab belum makan dari pagi

Sementara  itu, di  jalan raya Ciawi-Sukabumi
Ratusan kendaraan kampanye Pemilu legislasi
Membuat  kemacetan  semakin  menjadi - jadi
Di tengah berjubelnya kendaraan aku  menepi
Menghampiri  orang  tua gila itu lalu kusalami

Aku  menyapanya  namun dia diam  membisu
Hanya  matanya  nanar  mendelik  menatapku
Seperti  marah  sebab  merasa diusik diganggu
Beberapa  saat  kemudian ia duduk berpangku
Tangan  bertopang  dagu  matanya menatapku

Tak peduli  kemacetan suara bising kendaraan
Meski  hati  berdebar rasa  bergidik gemetaran
Aku coba duduk di sisinya menyapa perlahan:
Bapak, sedari pagi di sini, apa sudah makan?
Dia  cuma  bisa gelengkan kepalanya perlahan

Ku ambil bungkus nasi rames dari dalam tasku
Aku tawarkan kepadanya, dia tetap membisu:
“Pak, ini ada nasi rames, silahkan dimakan, pak!”
Orang gila itu tetap geleng-gelengkan kepalanya
Kali ini dia menjawab dengan suara terbata-bata

Nak, terimakasih atas perhatiannya pada bapak
terus terang bapak sudah tak butuh makan, nak!
Mendengar  jawabannya, aku benar-benar heran:
Oya,kalau begitu ini ada sedikit uang untuk bapak,
 Mungkin ini akan lebih berguna untuk bapak kelak?

Aku ambil selembar uang limapuluhribuan dari dompetku
Aku  sodorkan ke tangan kanannya yang kurasakan hanya
Bagai  sentuh  tulang, tak  ada  kulit yang membungkusnya
Tapi lagi-lagi aku heran tak habis pikir dan bertanya-tanya?
Orang  tua  itu  menolak uang  pemberianku seraya berkata:

Nak, sekali lagi terimakasih! Bapak sudah tak butuh apa-apa
Berikan  uang  itu untuk keluarga dan itu akan lebih berguna
dan  bapak doakan semoga kelak anak sekeluarga diberikan
rizqi  yang  banyak  dari  Tuhan  Yang  Maha  Kuasa!
Jika  demikian,  saya  mohon  maaf,  pak! mungkin
sikap  saya  tadi kurang sopan dan telah membuat
bapak  tersinggung, rumah saya di dekat sini pak
saya kembali dulu.”

Setelah berkata demikian aku pun segera berlalu
Tapi baru tiga langkah aku berjalan dari tempat itu
salah seorang yang melihatku bertanya kepadaku:
Maaf,  pak!  tadi  bapak seperti bicara sendirian
Dengan  siapakah  tadi  bapak ngobrol  bicara?
Pertanyaan  itu,  membuatku jadi terheran-heran
Aku menengok ke belakang ke arah tempat bicara
menyapa  dan  bicara ngobrol dengan orang tua gila
dan,  sungguh  di  sana  memang  tak ada siapa-siapa

Aku tak habis pikir, terheran-heran, dan bertanya-tanya
Sebenarnya  siapakah dia, dan kemanakah orang tua gila
yang  hilang  lenyap begitu saja dan pergi entah ke mana?
Dan  orang  yang  bertanya kepadaku geleng-geleng kepala
Hening  sejenak,  barulah  aku  sadar,  temukan jawabannya
Sepertinya hanya aku sendiri saja yang melihat orang gila itu

Hi  hi  hi  hi,  aku jadi tertawa sendiri merasa geli dalam hati
Menyadari  kalau  aku  sendiri  yang menjadi orang gilanya
Sebab  duduk  sendiri  dan bicara sendiri di emperan toko
Di tempat keramaian  di  depan  sekolah kepolisian Lido
Itulah peristiwa unik pengalaman misteri yang aku alami
Dengan orang  gila misterius yang masih penuh misteri
Yang  ada  di  emperan  toko  Indomaret SPN Lido
Jalan  raya  Ciawi-Sukabumi

Bumi Pangarakan, Bogor
Kamis, 19 Februari 2015 – 3:24 WIB

SEMERAWUT DALAM KEMELUT
Karya Slamet Priyadi

Awan-awan mendung layang berarak di puncak gunung
Bersayap bulu-bulu hitam kelabu tanda alam berkabung
Derai linang air mata terus saja menetes tak bisa diurung
Sebab orang-orang kecil masih keras menjerit  meraung
Dimangsa buasnya hukum rimba terbelenggu terkurung
Dalam neraka kemelaratan yang terasa semakin kadung

Sementara  hutan-hutan di bukitpun semakin kerontang
Dibalak oleh pemangsa galak ditebang pemangsa garang
Yang tak henti-henti  menyerbu serang malah bersarang
Di balik gerumbul gumuk hutan rimbunnya dedaun uang
Bergelimang kemewahan bersuka ria bersenang-senang
Berenang di kolam air matanya orang-orang yang malang

Semerawut kemelut bursa kepemimpinan diayak-goyang
Mengusut-usut benang kusut kesalahan lampau diterawang
Saling dalih-berdalih kebenaran adalah taktik untuk menang
Mengatur  strategi  tarik-ulur laksana bermain layang-layang
Tiada pikir itu membuat  masyarakat dalam suasana gamang
Tertutupkan selimut politik warna putih hitam suram garang

Dalam semerawutnya kemelut yang masih berekor panjang
Masih adakah harapan munculnya cahaya kemintang terang
Yang bisa sinari gelapnya  nasib rakyat kecil bernasib malang
Yang melangkah lemahsebab dua kakinya tak lagi bertulang
Yang cuma mampu bergerak ngesot ronta melalang melang
Menanti tulung-pitulung dari para pembijak para penopang

Kamis, 19 Februari 2015 – 19:35 WIB
Slamet Priyadi
Di Kp. Pangarakan, Bogor  

CATATAN PUISI BULAN PEBUARI KARYA SLAMET PRIYADI


“PERISTIWA SEPULANG KERJA”
By Slamet Priyadi

Saat pulang kerja pada hari Senin, tanggal dua bulan Febuari
Tepat pada pukul lima tiga puluh lima sore jelang petang hari
persis di muka rumahku Kp Pangarakan daerah Bogor Ciawi
Saat Matahari Senja benamkan diri sembunyi di balik Pertiwi
Motor ojek langganan yang biasa aku tumpangi pun berhenti

Kuambil uang limaribuan dari saku baju kemeja seragam biru
Lalu  kuberikan pada ojek langganan yang tersipu malu-malu
Akupun masuklah  ke dalam rumah duduk di bangku bambu
Sambil reguk seteguk kopi hangat yang baru dibuatkan istriku
Aku lepas segala lelah segarkan kepenatan yang mengganggu

Baru sepuluh menit nikmati kopi hangat, aku dengar dan lihat
Di depan rumah orang-orang pada berteriak pating mencelat,
“Aya oray tanah, aya oray kobra, hayu paehan, hayu paehan!”
Aku segera lari lompat ke luar rumah turut ikutan melihat-lihat
Hand phoneku yang ada di lopa ikat pinggang aku pegang kuat

Dalam selokan yang berair keruh ular hitam kencang  menjalar
Terus dikejar dipukuli, dipentungi, digetoki dengan kayu galar
Ular kobra tanah besar tak berdaya sakit menggelepar-gelepar
Menoba bersembunyi di balik batu besar tubuhnya melingkar
Tetapi akhirnya ular itu terkapar kepalanya pecah kemepyar

Kamis, 05 Februari 2015-21:21 WIB
Slamet Priyadi
Di Kp. Pangarakan, Bogor

 
ORANG GILA MISTERIUS
Karya: Slamet Priyadi

Orang tua gila itu bertubuh kurus dan kumal
Berambut  gimbal  panjang  dan  menggumpal
Berwajah  muram, lusuh, kotor, dan berdaki
Gering berbaring  di emperan toko yang sepi
Depan SPN Lido jalan raya Ciawi-Sukabumi

Sejak  jam tiga pagi  hingga sampai sore hari
Orang tua gila itu tak jua mau beranjak pergi
Tak ada seorangpun yang peduli dan empati
Pada nasib orang tua gila itu yang barang kali
Haus dan lapar sebab belum makan dari pagi

Sementara  itu, di  jalan raya Ciawi-Sukabumi
Ratusan kendaraan kampanye Pemilu legislasi
Membuat  kemacetan  semakin  menjadi - jadi
Di tengah berjubelnya kendaraan aku  menepi
Menghampiri  orang  tua gila itu lalu kusalami

Aku  menyapanya  namun dia diam  membisu
Hanya  matanya  nanar  mendelik  menatapku
Seperti  marah  sebab  merasa diusik diganggu
Beberapa  saat  kemudian ia duduk berpangku
Tangan  bertopang  dagu  matanya menatapku

Tak peduli  kemacetan suara bising kendaraan
Meski  hati  berdebar rasa  bergidik gemetaran
Aku coba duduk di sisinya menyapa perlahan:
Bapak, sedari pagi di sini, apa sudah makan?
Dia  cuma  bisa gelengkan kepalanya perlahan

Ku ambil bungkus nasi rames dari dalam tasku
Aku tawarkan kepadanya, dia tetap membisu:
“Pak, ini ada nasi rames, silahkan dimakan, pak!”
Orang gila itu tetap geleng-gelengkan kepalanya
Kali ini dia menjawab dengan suara terbata-bata

Nak, terimakasih atas perhatiannya pada bapak
terus terang bapak sudah tak butuh makan, nak!
Mendengar  jawabannya, aku benar-benar heran:
Oya,kalau begitu ini ada sedikit uang untuk bapak,
 Mungkin ini akan lebih berguna untuk bapak kelak?

Aku ambil selembar uang limapuluhribuan dari dompetku
Aku  sodorkan ke tangan kanannya yang kurasakan hanya
Bagai  sentuh  tulang, tak  ada  kulit yang membungkusnya
Tapi lagi-lagi aku heran tak habis pikir dan bertanya-tanya?
Orang  tua  itu  menolak uang  pemberianku seraya berkata:

Nak, sekali lagi terimakasih! Bapak sudah tak butuh apa-apa
Berikan  uang  itu untuk keluarga dan itu akan lebih berguna
dan  bapak doakan semoga kelak anak sekeluarga diberikan
rizqi  yang  banyak  dari  Tuhan  Yang  Maha  Kuasa!
Jika  demikian,  saya  mohon  maaf,  pak! mungkin
sikap  saya  tadi kurang sopan dan telah membuat
bapak  tersinggung, rumah saya di dekat sini pak
saya kembali dulu.”

Setelah berkata demikian aku pun segera berlalu
Tapi baru tiga langkah aku berjalan dari tempat itu
salah seorang yang melihatku bertanya kepadaku:
Maaf,  pak!  tadi  bapak seperti bicara sendirian
Dengan  siapakah  tadi  bapak ngobrol  bicara?
Pertanyaan  itu,  membuatku jadi terheran-heran
Aku menengok ke belakang ke arah tempat bicara
menyapa  dan  bicara ngobrol dengan orang tua gila
dan,  sungguh  di  sana  memang  tak ada siapa-siapa

Aku tak habis pikir, terheran-heran, dan bertanya-tanya
Sebenarnya  siapakah dia, dan kemanakah orang tua gila
yang  hilang  lenyap begitu saja dan pergi entah ke mana?
Dan  orang  yang  bertanya kepadaku geleng-geleng kepala
Hening  sejenak,  barulah  aku  sadar,  temukan jawabannya
Sepertinya hanya aku sendiri saja yang melihat orang gila itu

Hi  hi  hi  hi,  aku jadi tertawa sendiri merasa geli dalam hati
Menyadari  kalau  aku  sendiri  yang menjadi orang gilanya
Sebab  duduk  sendiri  dan bicara sendiri di emperan toko
Di tempat keramaian  di  depan  sekolah kepolisian Lido
Itulah peristiwa unik pengalaman misteri yang aku alami
Dengan orang  gila misterius yang masih penuh misteri
Yang  ada  di  emperan  toko  Indomaret SPN Lido
Jalan  raya  Ciawi-Sukabumi

Bumi Pangarakan, Bogor
Kamis, 19 Februari 2015 – 3:24 WIB

SEMERAWUT DALAM KEMELUT
Karya Slamet Priyadi

Awan-awan mendung layang berarak di puncak gunung
Bersayap bulu-bulu hitam kelabu tanda alam berkabung
Derai linang air mata terus saja menetes tak bisa diurung
Sebab orang-orang kecil masih keras menjerit  meraung
Dimangsa buasnya hukum rimba terbelenggu terkurung
Dalam neraka kemelaratan yang terasa semakin kadung

Sementara  hutan-hutan di bukitpun semakin kerontang
Dibalak oleh pemangsa galak ditebang pemangsa garang
Yang tak henti-henti  menyerbu serang malah bersarang
Di balik gerumbul gumuk hutan rimbunnya dedaun uang
Bergelimang kemewahan bersuka ria bersenang-senang
Berenang di kolam air matanya orang-orang yang malang

Semerawut kemelut bursa kepemimpinan diayak-goyang
Mengusut-usut benang kusut kesalahan lampau diterawang
Saling dalih-berdalih kebenaran adalah taktik untuk menang
Mengatur  strategi  tarik-ulur laksana bermain layang-layang
Tiada pikir itu membuat  masyarakat dalam suasana gamang
Tertutupkan selimut politik warna putih hitam suram garang

Dalam semerawutnya kemelut yang masih berekor panjang
Masih adakah harapan munculnya cahaya kemintang terang
Yang bisa sinari gelapnya  nasib rakyat kecil bernasib malang
Yang melangkah lemahsebab dua kakinya tak lagi bertulang
Yang cuma mampu bergerak ngesot ronta melalang melang
Menanti tulung-pitulung dari para pembijak para penopang

Kamis, 19 Februari 2015 – 19:35 WIB
Slamet Priyadi
Di Kp. Pangarakan, Bogor