Drs. I Gusti Ngurah Dwaja |
Ojodumeh012.blogspot.com - Sabtu, 12 April 2014 - 05:48 WIB - Rwa (Bineda;
Bhineda) adalah dua
sifat yang berbeda, keduanya ini disebutkan bermula ketika alam semesta ini diciptakan pertama kali
oleh Hyang Widhi Wasa sehingga di Alam Semesta
ini terdapat dua sifat :
- siang dan malam,
- ada sifat yang baik dan ada yang buruk
- benar - salah dll
Sehingga rwa bhineda disebutkan
sebagai dua sifat yang berbeda dan selalu mewarnai alam ini sebagaimana
disebutkan dalam mitologi caru maka diperlukan hal - hal
untuk dapat menetralisirnya.
Kombinasi antara Purnama-Tilem dalam Phartyca's Blog,
sebagaimana dijelaskan untuk upacara penyucian Sang Hyang Rwa Bhineda,
Disebutkan pula, bahwa lazimnya sebuah dunia, sifat Rwa Bhineda yaitu baik-buruk, terang-gelap dll selalu mewarnai kehidupan ini, seperti halnya laki-perempuan, siang-malam, panas-dingin dan sebagainya. Yang cair misalnya, kalau dipanaskan oleh api akan menguap ke langit (I Bapa), sedangkan api akan mengendap ke bumi (I Meme). Langit sendiri akan menurunkan hujan untuk menyuburkan bumi dan melahirkan kehidupan.
Demikian halnya dalam dunia Wayang
dikenal, 2 (dua) kelompok besar, kanan dan kiri. Golongan Kanan lebih mewakili
sifat-sifat kebajikan. Dari lakon Mahabharata ada para Pandawa dan golongan
Yadu sedangkan pada lakon Ramayana meliputi Rama, Laksamana, Hanoman,
Sugriwa dkk.
Sebaliknya Golongan Kiri disarati sifat-sifat kebhatilan yang diwakili oleh para Kurawa dalam lakon Mahabharata dan Rahwana beserta para Raksasa dalam lakon Ramayana. Demikian dijelaskan dalam kutipan dari blog PanDe Baik, "Wayang Kulit Dan Barong Landung"
Sebaliknya Golongan Kiri disarati sifat-sifat kebhatilan yang diwakili oleh para Kurawa dalam lakon Mahabharata dan Rahwana beserta para Raksasa dalam lakon Ramayana. Demikian dijelaskan dalam kutipan dari blog PanDe Baik, "Wayang Kulit Dan Barong Landung"
Selain itu dijelaskan pula, saput poleng yang bercorak kotak - kotak, subha karma dan asubha karma dalam simbol dan istilah yang disebutkan sebagai prilaku baik dan prilaku dosa yang juga disebutkan lambang Tapak dara dalam simbol swastika sebagai sumber pengatur seisi alam menjadi cerminan Sang Hyang Rwa Bineda sebagai simbol penyeimbang.
Keanekaragaman dan perbedaan tersebut dalam pengetahuan Hindu Dharma dijelaskan bahwa selain terus dapat meningkatkan wiweka dalam diri sendiri, kitapun wajib dan tidak segan-segan untuk dapat bertata-krama dengan umat lain seperti layaknya kita bersaudara, karena memang kita semua ini bersaudara.
Kiriman :
I Gusti Ngurah Dwaja