Blog Ki Slamet 42: Ojo Dumeh
Jumat, 13 September 2019 - 21.42 WIB
Jumat, 13 September 2019 - 21.42 WIB
Ki Slamet 42 |
A.
PERIODE
SEBELUM TAHUN 1945
1. Indische Sociaal Democratische Vereniging sebagai Embrio dari Partai Komunis Indonesia
Pada
tahun 1913, menjelang Perang Dunia I, seorang aktivis politik yang berhaluan
Marxis berkebangsaan Belanda bernama H.J.F.M. Sneevliet tiba di Hindia Belanda
dari negeri Belanda. Ia sebelumnya adalah pemimpin organisasi buruh angkutan
dan anggota Sociaal Democratische
Arbeiders Partij (SDAP) di Negeri Belanda. Sesampainya di Indonesia,
mula-mula ia bekerja sebagai anggota Staf Redaksi Warta Perdagangan Soerabajasche Handelblad, sebuah surat
kabar milik sindikat perusahaan-perusahaan gula di Jawa Timur. Kemudian ia
bekerja sebagai sekretaris pada Semarangsche
Haandels Vereniging, menggantikan pejabat lama D.M.G. Koch. Pada saat itu
di semarang telah terdapat organisasi buruh kereta api, vereniging van Spooren Tramsweg Personeel (VSTP).
Di
kemudian hari Sneevliet berhasil menanamkan pengaruhnya ke dalam organisasi
VSTP tersebut dan membawa VSTP ke arah aktivitas-aktivitas yang radikal, atau
setidak-tidaknya menjadikan VSTP sebagai media penyebarluasan Marxisme di
Hindia Belanda, antara lain melalui surat kaba VSTP, Devolharding (keyakinan). Selanjutnya, Sneevliet mengadakan kontak
dengan orang-orang Belanda yang berhaluan sosialis yang ada di Hindia Belanda,
dan pada tahun 1914 bersama J.A. Brandssteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma
mendirikan organisasi Marxis yang pertama di Asia Tenggara, dengan sebutan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV).
Setahun kemudian, mereka menerbitkan majalah Het Vrije Woord (Suara Kebebasan) di Surabaya sebagai media
propaganda Marxisme. Selain majalah Het
Vrije Woord, ISDV juga menerbitkan surat kabar Soeara Mardika dan kemudian Soeara
Rakjat.
Tulisan-tulisan
yang menyebarluaskan Marxisme, baik melalui media surat kabar ISDV maupun
kegiatan-kegiatan lainnya pada saat itu belum begitu mendapat perhatian dari
Pemerintah Hindia Belanda karena belum merupakan ancaman terhadap kelangsungan
pemerintahannya. Pemerintah Hindia Belanda menilai bahwa tulisan-tulisan
tersebut akibat dari mulai tumbuhnya ajaran Marxisme di Eropa. Di samping itu,
kemungkinan ISDV dapat memperluas pengaruhnya di wilayah jajahan sangat
diragukan mengingat adanya hambatan agama, bahasa, ras, dan suku yang
berbeda-beda.
I 2. Infiltrasi
Komunis ke dalam Sarekat Islam, melalui Taktik Keanggotaan Rangkap
Sejak
kebangkitan nasional tahun 1908, Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian
menjadi Sarekat Islam (SI) merupakan salah satu organisasi yang berkembang
pesat di Indonesia. Sneevliet sendiri sangat menyadari adanya hambatan bagi
ISDV untuk menanamkan ajaran Marxisme di Hindia Belanda. Untuk dapat
melaksanakan upaya tersebut, Sneevliet memanfaatkan organisasi SI. Caranya
adalah dengan memasukkan anggota ISDV menjadi anggota SI, dan sebaliknya
anggota SI dibolehkan menjadi ISDV atau dengan sistem “keanggotaan rangkap”.
Dengan sistem keanggotaan rangkap inilah, ISDV menyebarkan pengaruhnya ke dalam
organisasi SI. Pada tahun 1917 Sneevliet dan kawan-kawannya telah
mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan
anggota SI. Mereka berhasil membawa beberapa tokoh muda SI menjadi anggota
ISDV, di antaranya Semaoen yang pada tahun 1917 menjadi salah seorang pimpinan
SI Cabang Semarang dan Darsono seorang wartawan yang menjadi anggota AI.
Keduanya dinilai sebagai seorang muda yang berdedikasi dan berambisi di bidang
politik. Dengan memasuki ISDV sekaligus juga sebagai anggota SI, kedua orang
ini menjadi penyebar Maxisme ke kalangan masyarakat Indonesia.
Pada
tahun 1917 golongan kolonialis melaksanakan revolisi Rusia. Peristiwa ini
kemudian dimanfaatkan secara maksimal oleh Sneevliet yang dengan
terang-terangan menyerukan agar penganut Marxisme di Indonesia mengikuti Rusi.
Selain menyusupi SI, ISDV secara rahasia juga mengadakan penyusupan ke semua
lapisan masyarakat Indonesia, termasuk pergerakan kaum buruh, bahkan di
kalangan tentara Belanda. Aktivis ISDV yang juga menamakan dirinya kaum merah,
memperalat serdadu-serdadu dan pelaut-pelaut untuk berdemonstrasi melawan
polisi. Demikian juga surat kabar ISDV membuat hasutan-hasutan, agar dikobarkan
pemberontakan dan dikibarkan bendera merah. ISDV mendorong pula tokoh-tokoh
nasionalis dan organisasi, seperti Boedi
Oetomo, Insulinde, dan SI untuk menuntut Pemerintah Hindia Belanda
menggantikan Volksraad dengan
parlemen Rakyat. Hal ini membuat Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil
tindakan tegas dengan jalan mengusir Sneevliet dari Hindia Belanda pada tahun
1918, kemudian menyusul Brandsteder pada tahun 1919, Baars pada tahun 1921, dan
sisa-sisa kelompok radikal pada tahun 1923.
3.
Munculnya
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda sebagai Bagian dari Jaringan Komunis
Internasional
Ketika
Sneevliet dan Brandsteder diusir dari Hindia Beanda, Semaoen dan Darsono yang
telah menjadi kader komunis hasil
pembinaan Sneevliet muncul sebagai pimpinan ISDV. Ketika SDAP di Negeri Belanda
pada tahun 1918 memaklumkan perubahan partainya menjadi Partai Komunis Belanda,
beberapa anggota ISDP mengusulkan untuk mengikuti langkah SDAP itu. Adapun
perubahan SDAP menjadi Partai Komunis Belanda itu sangat erat kaitannya dengan
keberhasilan Renovolusi Bolsjewik di Rusia tanggal 1 Oktober 1917. Revolusi
tersebut telah memberikan angin segar kepada penganut Marxisme di seluruh dunia
yang menyerukan agar keberhasilan revolusi di Rusia diikuti dengan revolusi
dunia.
Lenin
menggariskan bahwa untuk tercapainya revolusi dunia hendaknya didirikan partai
komunis di tiap negara. Sebagai tanggapan atas penggarisan Lenin tersebut,
dalam Kongres ISDV VII pada tanggal 23 Mei 1920 di kantor SI di Semarang
diusulkan oleh Baars agar ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia
Belanda sebagai bagian dari jaringan Komunis Internasional (Komintern). Dengan
melalui perdebatan yang sengit dalam Kongres ISDV tersebut, akhirnya diadakan
pemungutan suara yang hasilnya 33 suara setuju, 2 suara mebolak, dan 1 suara
blangko. Dalam kongres tersebut disusunlah pengurus Perserikatan Komunis Hindia
Belanda dengan Ketua Semaoen, Wakil Ketua, Darsono; Sekretaris, P. Bergsma;
Bendahara, H.W. Dekker; dan Urusan Keanggotaan, Baars. Perubahan ISDV menjadi
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda ini dikomentari oleh Baars bahwa “hanya
dengan diktator proletariat, satu-satunya cara untuk membangun masyarakat
sosialis”.
Dalam
Kongres II Komintern bulan Juli – Agustus 1920 di Petrograd dan Moskow,
Sneevliet – yang setelah diusir dari Hindia Belanda dan tinggal di Cina – hadir
sebagai wakil dari Perserikatan Komunis di Hindia Belanda menggunakan nama
samaran Maring, walaupun di saat itu Perserikatan Komunis di Hindia Belanda
belum resmi menjadi anggota komintern. Dalam kongres tersebut Sneevliet alias
Maring berusaha meyakinkan Komintern agar Perserikatan Komunis di Hindia
Belanda disetujui tetap bekerja sama dengan SI sebagai taktik untuk memenangkan
kom unis. Pada dasarnya Komunis menentang gerakan Pan-Islamisme karena dianggap sebagai gerakan borjuis-nasional yang
menentang Marxisme di seluruh dunia. Namun, kongres kemudian dapat menyetujui
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda untuk tetap bekerja sama dengan pihak
mana pun dalam setiap lingkungan masyarakat sebagai taktik untuk mencapai
tujuan.
Persetujuan
kongres tersebut digunakan oleh Perserikatan Komunis di Hindia Belanda untuk
bekerja sama dengan organisasi-organisasi lain dan mengizinkan juga
anggota-anggota Perserikatan Komunis di Hindia Belanda untuk duduk dalam Volksraad. Namun, Keputusan Kongres II
Komintren yang tetap menentang Pan-Islamisme,
telah menimbulkan kesulitan bagi Perserikatan Komunis di Hindia Belanda
dalam hubungannya dengan SI karena kelompok yang anti komunis dalam SI menuduh
bahwa keputusan tersebut berarti memusuhi Islam secara keseluruhan.
Pada
bulan Desember 1920 Perserikatan Komunis di Hindia Belanda dengan suara mutlak
menerima 21 syarat Komintern untuk menjadi anggota, yang isinya, antara lain :
a.
Pengakuan secara konsisten terhadap
dikttor proletariat dengan perjuangan untuk mengamankan dan mempertahankannya.
b.
Pemutusan kerja sama secara
menyeluruh dengan kaum reformis dan centris serta penyingkiran mereka dari
partai.
c.
Melaksanakan perjuangan dengan metode
kombinasi legal dan ilegal.
d.
Bekerja secara sistematis di dalam
negara, militer, organisasi buruh reformis, dan parlemen borjuis.
e.
Setiap partai anggota Komintren
adalah partai komunis dan dibentuk atas prinsip sentralisme demokrasi.
f.
Semua keputusan dari Kongres
Komintren da Executive Committee of
Communist International (ECCI), yang merupakan komite pelaksana Keputusan
Kongres Komintern, akan mengikat terhadap semua partai yang berafiliasi dengan
Komintern.
g.
Komintren dan ECCI juga terikat untuk
mempertimbangkan adanya perbedaan kondisi dari setiap partai yang berbeda
tempat bekerja dan berjuangnya dan secara umumm resolusi yang diajukan mengenai
suatu masalah hanya akan diterima apabila resolusi itu memungkinkan.
Pertentangan
di dalam tubuh SI mencapai puncaknya pada Kongres Nasional VI SI bulan Oktober
1921 di Surabaya. Fraksi Komunis yang dipimpin oleh Semaoen dan Tan Malaka
(seorang ahli agitasi propaganda komunis) berusaha mengendalikan dan menguasai
jalannya kongres, tetapi usaha mereka ini ditentang oleh salah seorang tokoh
SI, yaitu H. Agus Salim (orang yang berpandangan modern dan pembela disiplin
organisasi).
H. Agu
Salim menjawab semua argumen Semaoen dan Tan Malaka dengan mengatakan, ‘Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan
sosialisme sejak seribu ratus tahun sebelum Karl Marx’. Selain itu, ia
mengajukan resolusi kepada Kongres untuk melarang setiap anggota SI menjadi
anggota partai lain, dan supaya kaum komunis yang menjadi anggota SI
mengundurkan diri.
Sejak
itu muncullah sebutan SI Merah bagi anggota-anggota SI yang beraliran Marxis
dan SI Putimuncul secara terbukah bagi anggota SI yang menentang Marxisme.
Inilah untuk pertama kalinya kekuatan Islam menentang komunisme secara terbuka
di Indonesia. Dalam langkah selanjutnya golongan komunis dalam SI selalu
membayangi saingannya. Tan Malaka menyebut peristiwa itu sebagai suatu “krisis
besar dalam tubuh SI yang menguntungkan komunis”. Kepada Komintren pada tahun
1923 Tan Malaka melaporkan bahwa Perserikatan Komunis di Hindia Belanda telah
menguasai lebih dari 20 seksi dalam SI dan dinyatakannya bahwa dari 100.000
anggota SI, 30.000 di antaranya adalah anggota komunis aktif. Perpecahan di
dalam tubuh SI ini tampaknya sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Bahkan, pada
bulan Maret 1923, dalam Kongres II Perserikatan Komunis di Hindia Belanda
diputuskan untuk bersaing melawan SI sebagai organisasi politik yang haluannya
berbeda. Sebagai konsekuesinya SI Merah mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat
dan menyatakan dirinya sebagai suatu organisasi radikal nasional baru. Selain
itu, juga dipandang perlu untuk melebarkan aktivitasnya sampai ke luar Jawa
dengan membuka cabang di Padang dan
Makasar.
Pertumbuhan
dan aktivitas Perserikatan Komunis di Hindia Belanda yang smakin radikal –
terutama dari kelompok pimpinan Alimin dan Muso – dalam menjalankan garis
partai dari Moskow semakin menarik perhatian Pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Belanda cukup waspada akan besarnya massa di bawah kepemimpinan dan
pengaruh Perserikatan Komunis di Hindia Belanda ini dengan mulai mengambil
tindakan-tindakan untuk memisahkan para pemimpin dari massanya, dengan cara
mengusir para pemimpinnya dari Hindia Belanda. Tan Malaka sebagai tokoh
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda diusir pada tahun1922, Semaoen serta
Darsono bersama-sama kaum radikal Belanda lainnya diusir pada tahun 1923.
Tokoh-tokoh komunis Hindia Belanda tersebut tersebar di Asia dan Eropa sebagai
agen Kmintren atau Perserikatan Komunis di Hindia Belanda atau agen
kedua-duanya. Namun Semaoen dan Darsono masuk kembali ke Indonesia pada tahun
itu juga.
Dengan
adanya pengusiran tokoh-tokoh pimpinanPerserikatan Komunis di Hindia Belanda
tersebut, maka terjadilah kemerosotan kepemimpinan karena kurangnya
tenaga-tenaga inti yang dapat menanamkan ideologi partai dan disiplin, sehingga
berakkibat timbulnya tindakan sendiri-sendiri berupa aksi-aksi teror tanpa
adanya instruksi dari pimpinan. Perserikatan Komunis di Hindia Belanda mulai
melakukan konsolidasi kembali setelah Darsono masuk kembali ke Indonesia pada
tahun 1923. Cababg-cabang Perserikatan Komunis di Hindia Belanda bertambah luas
dan pada bulan Juni 1924 Perserikatan Komunis di Hindia Belanda mengadakan
Kongres di Jakarta dengan mempergunakan nama Partai Komunis Indonesia (PKI)
untuk pertam kalinya.
Setelah
itu, PKI berhasil tumbuh mmenjadi partai poitik yang memiliki massa pengikut
yang semakin besar. Meskipun demikian, PKI belum dapt melakukan kontrol dan menanamkan
disiplin serta idiologi pada massa pengikutnya.
Tindakan-tindakan
keras pemerintah kolonial terhadap aksi-aksi Sarekat Rakyat menyebabkan Kongres
PKI pada bulan Desember 1924 di Kotagede, Yogyakarta mengambil keputusan untuk
melebur Sarekat Rakyat ke dalam PKI.
4.
Pergolakan
Rakyat Tahun 1926 – 1927
Setelah
PKI merasa bahwa pengaruhnya di dalam tubuh SI cukup besar, maka PKI mulai
memanfaatkan pengaruhnya untuk menggerakkan massa rakyat, dengan menggunakan
bendera SI untuk melakukan pergolakan fisik melawan pemerintah Hindia Belanda.
Hal ini yang memang merupakan salah satu tujuan perjuangan SI untuk mengusir
penjajah Belanda, sedangkan tujuan perjuangan PKI adalah mewujudkan masyarakat
komunis di Indonesia. Upaya PKI tersebut berhasil mencetuskan pergolakan rakyat
di beberapa tempat, yaitu pada tanggal 12 – 14 November 1926 di Karesidenan
Jakarta, tanggal 12 November – 5 Desember 1926 di Banten, tanggal 12 – 18
November 1926 di Priangan, tanggal 17 – 23 November 1926 di Surabaya, tanggal
12 November 1926 di Surakarta, tanggal 12 November – 15 Desember 1926 di
Kediri, dan tanggal 1 Januari – akhir Febuari 1927 di Silungkang, Sumatra
Barat.
Pergolakan
rakyat ini semuanya dapat diatasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Banyak tokoh
komunis dan nasionalis ditangkap dan dipenjarakan, bahkan ada yang dibuang ke
Digul, Tanh Merah, Irian Jaya (Papua), tetapi tokoh komunis Alimin dan Muso
berhasil melarikan diri.
Pada tahun 1935
Komintren mengirim kembali seorang tokoh komunis ke Hindia Belanda, yakni Muso.
Dengan bantuan Djoko Sudjono, Pamudji, dan Achmad Sumadi, ia melakukan kegiatan
bawah tanah, tetapi rupa-rupanya kegiatan tersebut tidak menghasilkan sesuatu.
Muso sendiri pada tahun 1936 melarikan diri lagi ke luar hegeri dengan alasan
merasa tidak aman di Indonesia.
S u m b e r :
Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Jakarta 1994
Gerakan
30 September PKI – Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya
—KSP42—
Jumat, 13 September
2019 – 16.05 WIB
Bumi Pangarakan,
Lido - Bogor