Denmas Priyadi: "Ojo Dumeh" - Jumat, 03 Desember 2014 19:39 WIB
|
Denmas Priyadi |
Tema
seminar/sarasehan budaya hari ini adalah agama ageming aji, yaitu agama sebagai
nilai-nilai luhur yang menjadi landasan hidup bangsa Indonesia, sesuai dengan
sila pertama pada Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama dalam bingkai
ageming aji bukanlah agama dalam arti golongan atau agama sebagai organisasi
(organized religion), tetapi agama sebagai basis moralitas dan perilaku
manusia.
Agama
dalam arti ini pernah menjadi polemik dan perang wacana di Kepulauan Nusantara
–karena Indonesia belum lahir– dan tepatnya di P. Jawa pada pertengahan abad
ke-15 hingga pertengahan abad ke-16.
Tokoh sentral dalam polemik dan
perang wacana pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar atau dikenal dengan nama
Syekh Lemah Abang. Dia seorang guru dan pelaku spiritual yang mengajarkan agama
sebagai jalan hidup dan bukan sebagai kepercayaan. Meskipun Syekh seorang
muslim, tetapi ajarannya menarik berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang
ada waktu itu. Mereka yang belajar dan menjadi murid Syekh berasal dari
berbagai kalangan, baik kalangan elite –yaitu para adipati– maupun rakyat
biasa. Mereka berasal dari pemeluk Hindu, Biddha, Syiwa-Buddha, Islam, dan
pemeluk kepercayaan yang berkembang di Jawa waktu itu.
Apa
yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar sehingga daya tarik ajarannya luar biasa
dan menyebabkan penguasa Kesultanan Demak Bintara kegerahan waktu itu? Yang
diajarkan sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi mereka yang hidup di Kep.
Nusantara waktu itu. Yang diajarkan adalah paham MKG (Manunggaling Kawula
Gusti), yaitu satunya hamba dengan Tuhan. Paham ini sudah ada di agama Hindu
dan Buddha yang sebelum berdirinya Kesultanan Demak, dipeluk oleh mayoritas
penduduk Nusantara. Paham ini diikuti oleh kalangan sufi dalam agama Islam.
Bahkan, mereka yang dikenal sebagai anggota Walisanga juga berpaham MKG.
Padahal, berdasarkan sejarah Walisanga yang bergelar sunan itu adalah pendukung
dan penasehat Sultan Demak di zaman itu.
Meskipun
Walisanga dan Syekh Siti Jenar sepaham, tetapi pada tataran implementasinya
dalam kehidupan berbeda. Bagi Siti Jenar, MKG merupakan landasan, jalan dan
alat untuk menjadikan manusia merdeka sejati. MKG menggerakkan manusia untuk
menjadi dirinya sendiri, menjadikan manusia yang memiliki kepribadian. Inilah
inti dari MKG yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Tentu pikiran semacam ini
melompat terlalu jauh ke depan pada zamannya. Jangankan pada masa 500 tahun
yang lalu, dewasa ini saja sebagian besar orang tidak hidup sebagai pribadi,
tetapi hidup berdasarkan pikiran orang lain.i Sedangkan MKG yang diajarkan oleh
Walisanga lebih bersifat teoritis, dan tidak memberikan implikasi nyata dalam
kehidupan masyarakat.
Ajaran
MKG Siti Jenar mendobrak feodalisme yang tumbuh subur pada masa itu, sedangkan
Walisanga justru melanggengkan sistem feodalisme. Syekh membangkitkan
kesetaraan antara kawula (rakyat) dengan rajanya (Gusti). Walisanga melestarkan
sistem rakyat menyembah raja. Syekh membebaskan orang dari belenggu
ketakhayulan dan pikiran picik, sedangkan Walisanga malah menjadikan agama dan
kepercayaan sebagai alat kekuasaan.
Puncak
pertarungan paham berakhir ketika Sultan Patah memerintahkan Walisanga untuk
menghentikan kegiatan mengajar Syekh dan pengikutnya dihancurkan. Untung tak
dapat diraih malang tak dapat ditolak, kata peribahasa. Ajaran Syekh Siti Jenar
dipadamkan –meski demikian, ajaran SSJ tetap berjalan dan disampaikan secara
sembunyi-sembunyi. Rakyat patuh kepada raja secara pasif, sedangkan kalangan
elite berebut kekuasaan. Akibatnya, umur kerajaan tak ada yang panjang, Demak
jatuh disusul dengan berdirinya Pajang, dan dalam satu generasi saja Pajang
hilang dan muncul Mataram.
Karena
rakyat bodoh dan elite kerajaan berebut kekuasaan, maka Mataram hanya dalam
kurun waktu 50 tahun berdiri sudah goyah karena adanya infiltrasi VOC, yang
akhirnya Mataram menjadi negara taklukan VOC. Hal ini saya sampaikan dalam
seminar/sarasehan ini agar dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia.
Dengan memperhatikan kembali ajaran Syekh Siti Jenar kita akan dididik untuk
menjadi manusia merdeka, sehingga siap untuk menahan gangguan dan ancaman asing
agar bangsa Indonesia tidak terus-menerus terjajah oleh negara lain dalam
segala bentuknya.
Sembilan
Ajaran Pokok Syekh Siti Jenar
Sebagaimana
dituturkan di atas, manusia hidup di atas bangunan opini atau pendapat orang
lain. Pada umumnya manusia tidak mengetahui hakikat hidupnya sendiri, dan tidak
mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi pada dirinya. Pikiran sebagian
besar orang merupakan pendapat orang lain, sehingga kita berbicara menggunakan
bahasa orang lain. Mereka yang berpengaruhlah yang telah menanamkan pengaruhnya
yang berupa bahasa, perilaku, pendapat, dan sebagainya untuk membangun
identitas tunggal.
Adalah
Kierkegaard –seorang filosof Barat– yang menyatakan bahwa sekelompok besar
orang selalu menghilangkan identitas pribadi. Oleh karena itu, sebagian besar
orang yang beragama (memeluk agama resmi) biasa melakukan ritual dan
menjalankan apa yang biasa dilakukan atau diharapkan oleh orang lain, tanpa
penghayatan pribadi apa yang dilakukankannya. Kebanyakan orang hidup dalam
kedangkalan dan formalisme kosong, dan demikianlah yang terjadi sehingga
seluruh generasi terjebak dipinggiran akal budi yang berlumpur. Inilah yang
menyebabkan roda kemajuan berhenti berputar.[i]
Pendapat
sebagai hasil olah pikir manusia berkembang terus, dan bila pemikiran
seseorang, suatu golongan atau bangsa mandek, maka ia akan terlindas oleh
perubahan yang terjadi di dunia ini. Bangsa yang pemikirannya terlindas atau
tertinggal akan menemui banyak masalah dalam hidupnya, dan kenyataan itu bisa
kita saksikan dewasa ini. Perhatikanlah apa yang terjadi pada negara-negara
tidak maju atau sedang berkembang! Kemiskinan, kebodohan, mutu kesehatan yang
rendah, serta rusaknya lingkungan hidup merupakan bukti mandeknya pemikiran.
Tanpa
berpikir manusia tidaklah sama dengan hewan, tetapi malah lebih buruk daripada
kehidupan hewan. Bila hewan lapar, maka secara naluri akan tertuntun menuju
sumber makanan, tetapi tanpa berpikir untuk mencari makan manusia akan
mengalami kematian. Oleh karena itu, manusia berandai-andai, dan perlu
berasumsi. Manusia berusaha menggunakan akal-pikirannya untuk menciptakan nilai
tambah pada segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Berbagai benda diberi nilai
atau “aji” sesuai dengan tingkat kelangkaannya.
Pendapat
apabila sudah diterima oleh suatu kelompok orang maka akan menjadi kebenaran
bagi kelompok itu. Meskipun kitab-kitab suci dalam berbagai agama dikategorikan
sebagai wahyu dan bukan pendapat, tetapi dalam implementasinya tetap
menggunakan olah pikir alias pendapat. Dan, pendapat tentunya dimaksudkan untuk
menyamankan, memudahkan, dan menimbulkan kesejahteraan umat. Itulah pendapat
yang diperlukan!
Jadi,
bukan kebenaran hakiki atau kebenaran harfiah suatu pendapat yang perlu
diperhatikan. Yang perlu diperhatikan adalah apakah pendapat itu bisa digunakan
untuk menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia, minimal bagi
mereka yang meyakini pendapat itu. Dan, yang perlu kita tolak adalah pendapat
yang menimbulkan kezaliman, kesengsaraan dan kriminalitas bagi manusia.
Nah,
ajaran pokok yang pertama dari Syekh Siti Jenar adalah tidak
mengabsolutkan pendapat. Pendapat boleh diperdebatkan, akan tetapi pendapat
tidak untuk melindas pendapat orang lain. Munculnya berbagai mazhab dalam
berbagai agama di dunia membuktikan bahwa ajaran agama pasca pendirinya
sebenarnya merupakan pendapat yang dikembangkan dari ajaran asal agama itu.
Jadi, kebenaran pendapat adalah kebenaran yang dibangun atas akseptabilitas
masyarakat atau komunitas tempat pendapat itu berkembang.
Ajaran
pokok yang kedua adalah
menjadi manusia hakiki, yaitu manusia yang merupakan perwujudan dari hak,
kemandirian, dan kodrat.
Hak. Kebanyakan kita berpendapat bahwa kita harus mendahulukan kewajiban
daripada hak. Perhatikanlah para pejabat kita selalu menuntut rakyat untuk
menjalankan kewajibannya dulu sebelum mendapatkan haknya. Warga dituntut
membayar pajak, mematuhi undang-undang dan peraturan yang ditentukan oleh para
elite politik, dan melaksanakan berbagai macam kepatuhan. Menurut Syekh Siti
Jenar, harus ada hak hidup lebih dulu. Inilah kebenaran! Tak ada kewajiban apa
pun yang bisa diberikan kepada seorang bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena
itu, begitu seorang bayi manusia dilahirkan semua hak-haknya sebagai manusia
harus dipenuhi terlebih dahulu.
Tidak peduli ia dilahirkan di keluarga kaya atau miskin, hak memperoleh
pengasuhan, perawatan, penjagaan, perlindungan, dan mendapatkan pendidikan
harus dipenuhi. Hak-hak tersebut dipenuhi agar ia menjadi manusia yang dapat
menjalankan kewajibannya sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan negara.
Dengan cara itu akhirnya ia menjadi manusia hakiki, manusia sebenarnya yang
dapat berkiprah dalam kehidupan nyata, baik sebagai pribadi maupun warga sebuah
negara. Salah satu unsur untuk menjadi manusia yang hidup merdeka terpenuhi.
Kemandirian. Pemenuhan hak dan kewajiban barulah tahap awal untuk menjadi
manusia hakiki. Tahap berikutnya adalah mendidik, mengajar, dan melatihnya agar
bisa menjadi manusia yang hidup mandiri. Ia harus diarahkan agar mampu hidup
yang tidak tergantung pada orang lain. Dengan demikian, kehidupan mandiri akan
tercapai bila terjadi kesalingtergantunga n antar anggota masyarakat dan
sekaligus kemerdekaan (interdependence and independence) .
Perhatikanlah
keadaan ekonomi masyarakat Indonesia sekarang ini. Kita amat sangat tergantung
pada bantuan atau hutang luar negeri. Negara yang dilimpahi kekayaan alam yang
luar biasa ini justru dihisap oleh negara-negara maju di dunia ini. Setiap bayi
yang dilahirkan yang seharusnya merupakan aset negara, ternyata tumbuh menjadi
manusia-manusia pencari kerja dan bahkan menjadi beban negara. Hal ini
disebabkan terjadinya manusia-manusia yang tergantung pada orang lain. Hubungan
yang terjadi adalah hubungan orang-orang lemah dengan orang-orang kuat. Yang
lemah merasa sangat memerlukan yang kuat, sedangkan yang kuat berbuat tidak
semena-mena terhadap mereka yang lemah.
Akibat
dari keadaan tersebut tambah tahun pengangguran akan semakin bertambah besar.
Yang menjadi gantungan relatif tetap, sedangkan yang menggatungkan diri
bertambah banyak. Terjadi relasi yang tidak seimbang, sehingga kehidupan
masyarakat menjadi rawan.
Kodrat. Inilah unsur berikutnya yang menopang asas hak dan kemandirian dalam
kehidupan masyarakat. Kodrat pada manusia merupakan kuasa pribadi. Kodrat tidak
didapat dari luar diri. Dengan demikian kodrat tidak berasal dari pelatihan dan
pendididikan. Tetapi kodrat harus diberikan ruang yang kondusif agar suatu
bentuk kemampuan khusus yang dianugerahkan pada setiap orang bisa terwujud.
Dalam hal ini, pelatihan akan meningkatkan kualitas kodrat yang dimiliki
seseorang.
Dalam
psikologi kodrat dapat dikatakan hampir sama dengan talenta. Bila seseorang
tidak diberikan kesempatan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya, maka
kodratnya kemungkinan besar tak akan terwujud. Padahal, kodrat yang ada pada
diri seseorang itulah yang bisa menjadi sarana untuk memperoleh keuntungan bagi
dirinya. Bila setiap orang bisa mewujudkan kodratnya, maka akan terwujud
hubungan yang saling memberikan dan sekaligus saling membutuhkan. Setiap orang
akan memiliki nilai tawar bagi orang lain.
Harmonisasi
dan ikatan antar warga negara akan menguat bila sebagian besar penduduknya bisa
mewujudkan ketiga unsur manusia hakiki tersebut. Keragaman masyarakat pun kecil
dan kesenjangan ekonomi dapat dinihilkan. Akhirnya jati diri manusia akan
muncul dengan sendirinya, dan kita akan menjadi bangsa yang kokoh dan tidak
mudah diprovokasi.
Ajaran
pokok Syekh yang ketiga
adalah hubungan antara satu orang dengan orang lain merupakan hubungan kodrat
dan iradat. Hubungan satu orang dengan orang lain bagaikan hubungan kerja dalam
satu tim, sehinga tidak terjadi hubungan posisi yang memerintah dan yang diperintah.
Tak ada hubungan kekuasaan. Antara manusia yang satu dengan yang lain terikat
oleh kodrat dan iradatnya, sehingga seperti hubungan sel yang yang satu dengan
sel lainnya dalam satu tubuh, dan hubungan organ yang satu dengan organ lainnya
dalam satu tubuh.
Kalau
kita amati cara kerja organ-organ dalam tubuh manusia, maka kita akan ketahui
bahwa masing-masing organ –seperti otak, penglihatan, penciuman, pendengaran,
paru-paru, jantung, hati, ginjal, usus, dan lain-lain– akan bekerja sama, dan
masing-masing menjalankan peranannya. Seharusnya kehidupan masyarakat manusia
juga demikian. Dengan mewujudkan masyarakat yang berupa kumpulan
manusia-manusia hakiki, masing-masing orang atau kelompok menjalankan fungsinya
dengan benar, maka akan terbentuk kehidupan yang sehat dan tidak terjadi
penghisapan antara orang yang satu terhadap orang lainnya. Inilah kehidupan
dunia yang didambakan oleh Syekh Siti Jenar, yang justru sekarang tumbuh dan
berkembang di negara maju.
Ajaran
pokok yang keempat :
segala sesuatu di alam semesta ini adalah satu dan hidup. Dalam salah satu
pupuhnya disebutkan bahwa bumi, angkasa, samudra, gunung dan seisinya, semua
yang tumbuh di dunia, angin yang tersebar di mana-mana, matahari dan rembulan,
semuanya merupakan keadaan hidup. Jadi, semua yang ada merupakan wujud
kehidupan.
Menurut
Syekh Siti Jenar yang dinamakan makhluk hidup adalah kehidupan yang
terperangkap dalam alam kematian. Zat mati tak akan dapat menimbulkan
kehidupan, sedangkan zat hidup tak akan tersentuh kematian. Tuhan disebut zat
yang mahahidup karena Dia eksis karena Diri-Nya sendiri. Kekuatan hidup-Nya
mengalir dalam alam kematian sehingga muncul sebagai makhluk hidup. Sekarang
bandingkan dengan tulisan-tulisan dari Barat dewasa ini, akan kita temukan
pernyataan mereka bahwa semuanya satu, semuanya hidup. Dengan demikian,
pandangan Syekh Siti Jenar luar biasa. Banyak pandangannya yang justru
bersesuaian dengan pandangan kaum teosofi maupun para spiritualis dari Barat.
Bila
kita menyadari bahwa lingkungan kita adalah keadaan yang hidup, maka tentu kita
akan memperlakukan lingkungan kita dengan sebaik-baiknya karena kita dan
lingkungan kita sebenarnya satu dan sama-sama sebagai keadaan yang hidup. Bila
kita menyadari tentu kita akan berhati-hati dalam memperlakukan lingkungan
kita.
Ajaran
pokok yang kelima:
pemahaman tentang ilmu sejati. Dikisahkan dalam Serat Siti Jenar yang ditulis
oleh Aryawijaya: Sejati jatining ngèlmu, lungguhé cipta pribadi, pustining
pangèstinira, gineleng dadya sawiji, wijanging ngèlmu dyatmika, nèng kahanan
eneng ening. Hakikat ilmu sejati itu terletak pada cipta pribadi, maksud dan
tujuannya disatukan adanya, lahirnya ilmu unggul dalam keadaan sunyi dan
jernih.
Menurut
Syekh Siti Jenar manusia haruslah kreatif karena manusia telah diberi anugerah
oleh Yang Mahakuasa untuk dapat mengaktualisasikan ilmunya yang berasal dari
dalam dirinya sendiri. Jadi, ilmu sejati bukanlah ilmu yang kita terima dari
orang lain. Yang kita dapatkan melalui indra, pengajaran dari orang lain, itu
hanyalah refleksi ilmu. Dan, ternyata sejak abad ke-20 pemahaman bahwa ilmu
lahir dari kedalaman batin telah menjadi pemahaman yang universal. Itulah
sebabnya orang-orang Barat tekun dalam melakukan perenungan dan pengkajian
terhadap tanda-tanda di alam semesta.
Jadi,
harus ada suasana kondusif bagi orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuan.
Suasana kondusif bagi ilmuwan adalah iklim kerja yang membuat ilmuwan tersebut
dapat bekerja dengan tenang, nyaman, dan bebas dari berbagai penyebab kekalutan
dan kesulitan. Dan, tentunya hak-hak untuk dapat menjadi ilmuwan sejati
haruslah dipenuhi. Ingat, setiap orang telah diberi potensi dan talenta yang
disebut kodrat. Dan, bagi mereka yang memiliki kodrat untuk menjadi ilmuwan
harus disediakan iklim kerja yang kondusif sehingga bisa menghasilkan hal-hal
yang dibutuhkan manusia.
Ajaran
pokok yang keenam:
umumnya orang hidup saling membohongi. Banyak hal yang sebenarnya kita sendiri
tidak tahu, tapi kita menyampaikannya juga kepada teman-teman kita. Hal ini
banyak sekali terjadi dalam ajaran agama. Banyak orang yang sekadar hafal
dalil, tetapi sebenarnya dia tidak mengetahui apa yang dimaksud oleh dalil itu.
Akhirnya pemahaman yang keliru itu menyebar dan terbentuklah opini yang salah.
Masyarakat
yang dipenuhi dengan pemahaman dan opini yang salah sama dengan masyarakat yang
dipenuhi sampah. Masyarakat demikian pasti rawan terhadap serangan penyakit.
Oleh karena itu, masyarakat harus dibebaskan dari berbagai macam kebohongan.
Masyarakat harus diajar dan dididik untuk memahami segala sesuatu seperti apa
adanya.
Agar tidak hidup saling membohongi manusia harus kembali mengenal dirinya.
Setiap orang harus dididik untuk menyadari perannya dalam hidup ini. Para
cerdik cendekia harus mengerti fungsinya di dunia. Orang harus diajar untuk
bisa mengerti dunia ini sebagaimana adanya. Agama harus diajarkan sebagai jalan
hidup dan bukan alat untuk meraih kekuasaan. Oleh karena itu, keimanan harus
diajarkan dengan benar dan bukan sekadar diajarkan sebagai kepercayaan. Iman
harus diajarkan sebagai penghayatan, pengalaman, dan pengamalan kebenaran.
Ayat-ayat
kitab suci harus dipahami berdasarkan kenyataan, dan tidak diindoktrinasikan
serta diajarkan secara harfiah sesuai dengan asal kitab suci tersebut. Agama
harus diajarkan secara arif dan bisa dibumikan, tidak terus menggantung di
langit. Agama harus diterjemahkan dalam bentuk yang dapat dipahami dan
dipraktikkan oleh masyarakat penerimanya.
Ajaran
pokok yang ketujuh:
nama Tuhan diberikan oleh manusia. Lima ratus tahun yang lalu Syekh telah
menyatakan dengan tegas bahwa manusialah yang memberikan nama pada Tuhan. Oleh
karena itu, nama bagi Tuhan bermacam-macam sesuai dengan bahasa dan bangsa yang
menamai-Nya. Dan, perlu diketahui bahwa Tuhan sendiri sebenarnya tidak perlu
nama, karena Dia hanya satu adanya. Sesuatu diberi nama karena untuk membedakan
dengan sesuatu lainnya. Nama diberikan agar kita tidak keliru tunjuk atau salah
sebut.
Bagi
Syekh Siti Jenar, apapun sebutan yang diberikan kepada-Nya haruslah sebutan
yang terpuji, yang baik, yang pantas. Bahkan dalam Alquran dinyatakan dengan
tegas pada Q. 7:180 bahwa manusia diperintah untuk memohon kepada-Nya dengan
nama-nama baik-Nya, atau al-asmâ-u l-husnâ. Dan, pada Q.17:110 dinyatakan bahwa
Dia dapat diseru dengan nama Allah, Ar Rahman, atau dengan nama-nama baik-Nya
yang lain.
Sungguh,
sangat mengherankan bila di zaman sekarang ini kita berebut nama Tuhan. Secara
teoritis umat Islam dididik untuk meyakini bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa.
Tetapi, dalam kenyataannya sebagian orang Islam –seperti yang terjadi di
Malaysia – malah meminta orang yang beragama lain untuk tidak menggunakan lafal
Allah bagi sebutan Tuhan pada agama lain tersebut. Inilah pemahaman yang salah!
Kalau kita –yang Muslim— menolak pemeluk agama lain menyebut Allah bagi
Tuhannya, maka secara tak sadar kita mengakui bahwa Tuhan itu lebih dari satu.
Sudah
waktunya kita ajarkan ketuhanan dengan benar sehingga kita tidak berebut tulang
tanpa isi. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa mengamalkan nilai-nilai
ketuhanan dengan benar itulah yang amat penting dalam hidup ini. Bagi orang
Indonesia , menghayati dan mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan benar
merupakan penegakan Sila yang pertama.
Ajaran
pokok yang kedelapan:
raja agama sesungguhnya raja penipu. Sebagaimana telah diterangkan bahwa agama
adalah jalan hidup. Oleh karena itu, agama harus diajarkan untuk menjadi jalan
hidup, sehingga pemeluk agama bisa hidup tenang, bahagia dan bersemangat dalam
menjalani hidup. Agama harus diajarkan untuk menjadi landasan moral dan
perilaku, sehingga agama benar-benar sebagai nilai luhur dan menjadi rahmat
bagi semesta alam.
Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena itu agama islam
diajarkan dengan cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa. Untuk hal itu
diperlukan penafsiran, dan tidak disebarkan dalam bentuk budaya asalnya. Agama
tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab menurut Syekh raja yang
memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi bahwa untuk memenuhi
kepentingan penguasa, agama dijadikan alat menguasai rakyat. Agama yang
seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang terjadi justru sebaliknya yaitu rakyat
yang dikuasai oleh agama.
Jika
di Eropa pada abad ke-19 orang-orang mulai mempertanyakan peranan agama, dan
bahkan ada yang memandang bahwa agama sebagai candu bagi masyarakat dan harus
disingkirkan dari gelanggang kehidupan bernegara, maka empat ratus tahun
sebelumnya Syekh Siti Jenar justru ingin menerapkan agama sebagai penyegar dan
pencerah bagi pemeluknya. Oleh karena itu, agama diajarkan tanpa melibatkan
kekuasaan negara. Di sinilah Syekh bertabrakan dengan kepentingan Walisanga.
Syekh
amat sadar bahwa di dunia ini penuh dengan tipu daya. Hampir di semua negara
pada waktu itu terjadi relasi keuasaan antara raja/penguasa dengan para tokoh
agama. Dengan kata lain, raja dan tokoh agama berbagi kekuasaan. Yang dikuasai
dan yang dijadikan pijakan hidup oleh raja dan tokoh agama adalah rakyat.
Inilah yang oleh Syekh disebut sebagai penipuan. Oleh karena itu, sudah
waktunya agar agama benar-benar menjadi milik masyarakat, dan negara tidak
mengurusi agama. Yang diurusi oleh negara adalah tegaknya hukum positif,
perlindungan bagi setiap orang tanpa memandang agama dan kepercayaannya. Yang
diurusi oleh negara adalah kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
Ajaran
pokok yang kesembilan:
segala sesuatu di alam semesta adalah Wajah-Nya. Inilah ajaran puncak dari
Syekh Siti Jenar. Dunia adalah manifestasi wujud yang satu, dan hakikat
keberadaan bukanlah dualitas. Sehingga, kemana pun kita hadapkan diri kita,
maka sesungguhnya kita senantiasa menghadap Wajah-Nya. Semua adalah penampakan
Wajah-Nya. Sekarang marilah kita cicipi dua bait puisi dari Syekh Siti Jenar.
Bersanggama
dalam keberadaan
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi
Lahir
batin keberadaan sukma
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini
Jadi,
pada puncak perenungan dan keheningan diri terjadilah penegasian eksistensi
diri yang terkurung raga. Ditegaskan bahwa kehambaan telah lenyap, sudah
hilang. Bila kehambaan masih tetap eksis maka di alam semesta ini masih berada
dalam keadaan dualitas. Keadaan inilah yang menyebabkan orang terpisah dengan
Tuhannya, meskipun secara konseptual diketahui bahwa Sang Pencipta lebih dekat
daripada urat lehernya. Akan tetapi, selama keadaan dualitas belum sirna maka
secara faktual Tuhan masih jauh daripada urat lehernya, karena Tuhan dianggap
berada di luar dirinya.
Ada
dualitas artinya kita mengakui ada dua keberadaan, yaitu ada yang inferior
(keberadaan yang kualitasnya lebih rendah) dan ada yang superior (keberadaan
yang kualitasnya lebih tinggi). Jika demikian, kedua jenis keberadaan itu
tumbuh melalui proses. Semua yang tumbuh melaui suatu proses, bukanlah
keberadaan yang kekal. Dan, bilamana tiada keberadaan yang kekal, maka tak
mungkin ada fenomena atau penampakan di alam semesta.
Kita
hidup di dunia ini karena kita kanggonan (didiami) urip (hidup) yang diberikan
oleh Tuhan. Namun, badan jasmani ini hanyalah fenomena yang terikat oleh ruang,
waktu, situasi psikologis. Hakikatnya badan jasmani ini tidak ada karena badan
jasmani ini seperti gambar yang menumpang di layar perak atau layar kaca. Kalau
layar digulung atau dimatikan ya lenyaplah fenomena tersebut. Jadi, memang
benar bahwa dunia ini panggung sandiwara, dan kita adalah pemain-pemain
sandiwara. Oleh karena itu, kita harus dapat memainkan peran kita masing dengan
baik.
Lalu,
apa sasaran utama pelenyapan dualitas? Sasaran pokoknya adalah menumbuhkan
kesadaran akan ke-Satu-an, Oneness, dalam kehidupan ini, baik kehidupan kita
sebagai individu maupun secara kolektif. Dengan lenyapnya perasaan dualitas
dalam hidup ini, maka jarak antara kawula dan Gusti akan hilang. Akan lahir
individu-individu yang menjadi dirinya sendiri, dan dalam kehidupan sosial akan
tercipta interaksi antar warganya secara tim, sehingga semua akan memenuhi
fungsinya masing-masing dalam kehidupan. Sekat antara pemimpin dan yang
dipimpin akan hilang, dinding penyekat antara raja dan rakyatnya akan runtuh.
Bila ini sudah terjadi, maka tak akan ada lagi eksploitasi terhadap sesama
manusia.
Pelenyapan
sekat antara kawula (hamba, rakyat, atau bawahan) dan Gusti (raja, pemimpin,
atau atasan) akan melahirkan satu keberadaan yang disebut Manunggaling Kawula
Gusti. Keberadaan MKG ini akan menggugurkan kehidupan yang berkasta dan
merontokkan feodalisme. Relasi sesama manusia berupa simbiose mutualisme, yaitu
hubungan yang saling menguntungkan. Sesama manusia hidup dalam suasana liberte,
egalite dan fraternite, yaitu hidup dalam kemerdekaan, persamaan dan
persaudaraan antara sesama manusia di dunia ini. Dari sinilah Syekh membangun
hubungan warga dengan wadah yang disebut masyarakat, yang tidak dijumpai di
Timur Tengah pada waktu itu.
Memang masyarakat merupakan kosa kata yang dibentuk dari unsur-unsur kata Arab,
yaitu dari syarika yang artinya menjadi sekutu; dan masyarakat adalah kumpulan
orang-orang yang bersekutu. Jadi, setiap anggota masyarakat itu seperti sel-sel
tubuh yang independen, namun selalu berinteraksi sesuai dengan peran dan
fungsinya masing-masing. Setiap anggota masyarakat mengetahui tugasnya.
Terciptalah jalinan kasih. Inilah surga yang sesungguhnya yang harus diwujudkan
di dunia ini. Dengan demikian, konsep MKG sebenarnya untuk menciptakan
kehidupan bersama dalam mencapai kejayaan!
*)
Ir. Achmad Chodjim MM, adalah penulis buku “Syekh Siti jenar: Makna Kematian
(jilid 1)”, “Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan (jilid 2)” dan
“Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga”.