Slamet
Priyadi: “OJO DUMEH” - Kamis, 26
Desember 2013 – 17:04 WIB
Kisah ini berawal ketika Ki Kebokenongo yang
dikenal juga dengan sebutan Ki Ageng Pengging berniat memberontak terhadap
penguasa Demak, Sultan Bintoro. Berita tentang
pemberontakan yang akan dilakukan Ki Kebokenongo itu sampai juga ke
telinga Syeh Siti Jenar. Maka Syeh Siti
Jenar pun berangkat ke Pengging menemui
Ki Kebokenongo. Hal tersebut dilakukan
Syeh Siti Jenar oleh karena Ki Kebokenongo mempunyai niat dan tujuan yang sama
dengan dirinya, berniat memberontak terhadap Demak. Selain itu ia memiliki
kepercayaan dan pandangan agama yang sejalan dengan dirinya. Setiba di desa Pengging Syeh Siti Jenar
langsung menjumpai Ki Kebokenongo di rumahnya.
Setelah mengucap salam, berkatalah Syeh Siti Jenar kepada Ki Kebokenongo:
“Ki Ageng Kebokenongo, aku mendengar kabar
Ki Ageng berselisih kekuasaan dengan Sultan Bintoro dan hendak memberontak
terhadap Demak, benarkah itu?”
Mendengar pertanyaan yang tak diduga-duga dan
bersifat pribadi dari Syeh Siti Jenar, orang yang belum dikenalnya secara dekat
dan mendalam, Ki Kebokenongo sedikit terperanjat. Dengan senyum dikulums ia
berkata kepada Syeh Siti Jenar:
“Wahai kisanak, siapakah tuan ini, dan dari
manakah?”
Mendengar jawaban Ki Kebokenongo seperti itu Syeh
Siti Jenar menjadi heran, sebab meskipun tidak sering bertemu Ki Kebokenongo,
tetapi ia pernah beberapa kali berbincang-bincang bertukar pikiran soal
kepercayaan, agama dan masalah keadaan situasi politik di Demak yang dirasakan semakin tidak kondusif lagi. Dengan perasaan sedikit kecewa yang dipendam,
Syeh Siti Jenar berkata kepada Ki Kebokenongo dengan penuh rasa keakraban penuh
persahabatan:
“Walah, walah,walaaah...Ki Ageng ini piye,
tho? (KI Ageng ini bagaimana?) Apa sudah lupa dengan aku, Syeh Siti Jenar
seorang hamba sahaya yang mendapat derajat tinggi secara tiba-tiba, dan orang
menyebut aku seorang wali. Berbeda dengan Ki Ageng yang masih keturunan raja,
kaum bangsawan yang memerintah pulau Jawa ini.
Tetapi sekarang hidup susah, tinggal di desa menjadi petani, bercocok
tanam dan menanam padi dan palawija karena perlakuan Sultan Bintoro, raja Demak
yang tamak itu”.
“Oya, ya, ya... Aku baru ingat sekarang,
maafkan aku Syeh Siti Jenar, sungguh aku tak menduga dan tak mengenalimu sebab
penampilanmu jauh berbeda. Jenggot, kumis,
rambutmu agak panjang sekarang, dan pakaianmu pun semakin hitam gelap segelap
dan hitamnya kehidupan sekarang . Namamu pun
semakin terkenal di kalangan masyarakat maupun di kalangan pemerintahan
bahkan di seantero Jawa ini, dan banyak pula yang menyebutmu dengan sebutan
Syeh Lemah Abang. Mari, jangan
sungkan-sungkan, Syeh! Anggap saja ini seperti di padepokanmu. Oya, Sekarang
apa lagi yang akan kau bicarakan sebab aku pun ingin tahu maksud dan tujuanmu datang
kemari yang jauh dari keramaian kota hanya desa terpencil, Pengging yang
sekarang sebagai tempat aku tinggal mengelola sebidang tanah dan sawah, tempat
mesu diri memikirkan kehidupan yang semakin
aku tak mengerti, penuh kemunafikan, keserakahan, ketamakan, intrik-intrik, dan
ambisi pribadi untuk mendapatkan kekuasaan dan jabatan seperti yang terjadi di
Demak Bintoro ini sebagaimana yang tadi Syeh Siti Jenar katakan.”
“Baiklah Ki Ageng, sebenarnya aku sudah
lama ingin berkunjung ke sini untuk menemuimu membicarakan tentang keadaan
negeri, bertukar pendapat, pikiran dan pandangan terkait dengan kehidupan
keagamaan dan kepercayaan yang kita sebarkan kepada santri-santri kita dan masyarakat
kita di Demak Bintoro ini yang semakin terasa tidak nyaman karena ajaran-ajaran
kita dianggap nyeleneh dan sesat ke luar dari ajaran Islam. Dan sungguh aku
sangat mendukungmu dan akan membantu sekuat jiwa raga dan pikiran jika rencana
untuk memberontak terhadap Demak itu jadi kau laksanakan.” Demikian Syeh Siti Jenar menyampaikan pikiran, pendapat,
dan pandangan serta dukungan penuhnya
terhadap Ki Kebokenongo, sambil tak lupa mengelus kumis dan jenggotnya yang
hitam agak keputihan itu.
“Baiklah, Syeh Siti Jenar! Aku sangat
berterima kasih sekali dengan dukunganmu. Akan tetapi sebaiknya fokus
pembicaraan kita belum mengarah ke sana, ke rencana pemberontakan itu, karena semuanya itu tentu memerluan persiapan
yang matang baik secara fisik, mau pun non fisik, dan yang utamanya lagi adalah
persiapan materi logistiknya karena masyarakat kita, santri-santri kita masih
belum siap untuk melakukan pekerjaan besar seperti itu. Marilah kita membahas yang berkait dengan
keagamaan kita karena terus terang aku butuh ketenangan jiwa, dan itu kutemukan saat aku mesu diri mendalami, mengkaji, merenung diri apa arti
sejatinya sebuah kehidupan.” Demikian kata-kata Ki Kebokenongo menanggapi
pendapat Syeh Siti Jenar.
“Jika demikian adanya, aku sangat sependapat
denganmu, Ki Kebokenongo. Aku sangat bersyukur jika pendapat dan pemikiran kita
masih bisa dipersatukan, dan mari kita bersatu tekad untuk tetap memegang teguh
ajaran kita masing-masing meskipun taruhannya tubuh kita akan hancur lebur akan tetapi
ajaran-ajaran kita akan terus tetap berkembang sampai di hari kemudian menuju
alam kelanggengan. Sekarang, marilah kita segera menyembelih ayam berbulu putih
seluruhnya dengan nasi putih yang dicampur garam sedikit sebagai alasnya.”
Selanjutnya Ki Kebokenongo yang dikenal juga dengan
julukan Ki Ageng Pengging menyuruh kepada istrinya untuk menyembelih seekor ayam berbulu putih dan
mempersiapkan nasi putih untuk acara selamatan pada malam harinya. Menjelang
senja saat petang hari, masakan disajikan ditutupi dengan kain yang juga
berwarna putih. Syeh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging duduk di serambi sanggar
berbincang membahas tentang agama Hindu, Budha, dan Islam.
Sambil
menanti malam tiba, Ki Ageng Pengging mengawali diskusi dengan membahas
tentang ajaran agama Hindu-Budha, sedangkan Syeh Siti Jenar mengulas agama
Islam yang disampaikan dengan cara yang
menarik sekali. Kalimat-kalimat yang disampaikan jelas dan tersetruktur
sehingga mudah ditangkap dan dicerna. Ki Ageng Pengging mendengarkan secara serius dan penuh perhatian. Menikmati kata demi kata, kalimat demi
kalimat yang disampaikan Syeh Siti Jenar. Dan Pada akhirnya mereka berdua berkesimpulan
bahwa meskipun agama yang mereka anut berdua masing-masing berbeda, akan tetapi
hakikatnya adalah sama bahwa agama itu mengajarkan tentang kebenaran, menuntun
manusia, bagaimana manusia harus bersikap kepada Tuhan, kepada manusia, dan
kepada alam.
Mereka berdua, Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti
Jenar sangat menikmati debat dan diskusi
agama itu, sehingga tak terasa malam pun
mulai merayapi desa Pengging. Cuaca dingin merasuk mengelitik tubuh,
kabut tipis menggumul depan serambi
rumah Ki Ageng Pengging menambah cuaca malam itu semakin dingin. Tak lama
kemudian mereka berdua masuk ke dalam
sanggar lalu masing –masing mengambil kain putih yang dipakai sebagai penutup
hidangan. Syeh Siti Jenar duduk menghadap ke utara, sedangkan Ki Ageng Pengging
menghadap ke selatan, mereka saling berhadap-hadapan. Mereka berdua akan saling bertanya dan
menjawab secara makrifat, berargumentasi
dengan saling debat menurut pemikiran dan kebenaran mereka masing-masing.
Bertanyalah Syeh Siti Jenar kepada Ki Ageng Pengging:
“Ki Ageng Pengging, sesungguhnya dimanakah
Yang Maha Kuasa itu?”
Ki Ageng Pengging diam saja tak menjawab pertanyaan
Syeh Siti Jenar. Sejenak kemudian ia berkata menjawab pertanyaan Syeh Siti
Jenar dengan sebuah pertanyaan pula:
“Syeh Siti Jenar, menurutku jawaban
pertanyanmu ada dalam pertanyaanku ini, ‘dimanakah pintu kematian itu?’ bisakah Syeh
menjawabnya?!
Menerima pertanyaan Ki Ageng Pengging, Syeh Siti
Jenar diam tak bisa menjawabnya. Lalu mereka berdua pun saling merenung
memikirkan kedua pertanyaan yang Saling mereka ajukan. Tak beberapa lama
kemudian Ki Ageng Pengging berkata kepada Syeh Siti Jenar:
“Syeh Siti Jenar, besok aku akan menemukan
kolong dunia.”
Menjawab Syeh Siti Jenar dengan cepat:
“Itu salah besar Ki Ageng!”
Ki Ageng Pengging berkata:
“Apakah saya akan masuk dan harus
masuk ke alam kesunyian, seperti saat saya belum dilahirkan?”
Jawab Syeh Siti Jenar:
“Itu pun juga tidak benar, Ki
Ageng!”
Ki Ageng Pengging melanjutkan kata-katanya:
“Apakah saya akan sejiwa denganyang gaib,
‘Yang mandiri secara pribadi, menyatukan diri dengan keinginan, berubah menjadi
air mani agar dapat melakukan penitisan, seribu hari makan irisan tipis-tipis
sedangkan sedekahnya adalah mayat saya.”
Syeh Siti Jenar tetap menyangkal
semua pendapat Ki Ageng Pengging yang dianggapnya salah dan tidak tepat dengan
berbagai argumentasi yang kuat dan masuk akal.
Akhirnya Ki Ageng Pengging merasa bahwa tingkat ilmu kemakrifatannya
masih di bawah Syeh Siti Jenar dan dia memohon kepada Syeh Siti Jenar untuk
menjadi muridnya memberikan nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan tentang siapa, dan dimana Yang Maha Kuasa itu? Syeh
Siti Jenar kemudian menjelaskan tentang, ‘Uning,
Unong, Unang.’
Ki Ageng Pengging menyimak semua
dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian apa yang diuraikan Syeh Siti Jenar
akan tetapi ia masih belum menerima sepenuhnya ajaran Syeh Siti Jenar. Saat ia
masih merenung memikirkan ajaran Syeh Siti Jenar, ia terkejut karena Syeh Siti
Jenarbertanya kepadanya tentang dimana pintu kematian itu. Menjawab pertanyaan
Syeh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging menunjukkan telunjuknya ke arah bagian
leher. Syeh Siti Jenar dapat memahami dan mengerti maksudnya. Selanjutnya, Syeh
Siti Jenar menyantap daging ayam yang disajikan, memegang isi perut ayam
seraya berkata:
“Apakah in sarang angin?”
Ki Ageng Pengging mengibas-ngibaskan
kedua tangannya, memadamkan lampu dalam sanggar. Mereka berdua tertawa bersama-sama karena
menyadari bahwa sesungguhnya mereka masih diliputi oleh kegelapan tentang
uning, unong yang menggambarkan kematian itu.
Tiga hari tiga malam sudah Syeh Siti
Jenar berada di sanggar Ki Ageng Pengging membahas agama Hindu, Budha, dan
Islam Ki Kebo Kenongo alias Ki Ageng Pengging itu. Pada akhirnya mereka
menemukan kesepakatan, bahwa di antara kepercayaan mereka berdua tidak ada
bedanya. Syeh Siti Jenar pun mohon diri utuk kembali ke desanya, Krendhasawa. (SP091257)
Referensi:
YB. Prabaswara, Siti Jenar Cikal Bakal Faham Kejawen, Jakarta, Armedia
Penulis:
Slamet Priyadi di bumi Pangarakan –
Bogor
Rabu, 25 Desember 2013 – 15:10 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar