Rabu, 25 Desember 2013

Mulailah Dari Diri Kita Sendiri

Slmet Priyadi: "OJO DUMEH" - Kamis, 26 Des. 2013│13:13 WIB


Suatu ketika di salah satu masjid, seorang ustadz penda’wah berceramah dalam suatu pengajian majelis taklim kaun ibu tentang pentingnya berinfak di jalan Allah. Dan kebetulan, majelis taklim kaum ibu yang mendengarkan dakwah sang ustadz, salah satu di antaranya adalah istrinya sendiri.

Ceramah yang disampaikan sang ustadz tentang pentingnya infak, begitu mempesona, ekspresif, simpatik, dan menarik dengan  suaranya yang begitu khas, terkadang lembut, terkadang keras dan tegas. Sehingga beberapa jamaah sampai-sampai ada yang meneteskan air mata, menangis karena dakwah sang ustadz merasuk ke dalam lubuk hati mereka, termasuk istrinya sendiri. Istri sang ustadz menangis karena sangat tersentuh dengan apa yang disampaikan dalam ceramah suaminya itu. 

Setelah pengajian selesai, istri sang ustadz bergegas pulang ke rumahnya. Setibanya di rumah, Ia segera melepas perhiasan gelang dan kalung yang ada di tangan dan lehernya. Ia juga mengambil sebagian harta dan emas yang disimpan di rumahnya lalu diinfakkannya dengan tujuan semata-mata karena Allah.  

Beberapa jam kemudian, setelah selesai menyampaikan dakwah di masjid, suaminya pun tiba di rumah. Sang ustadz segera menyapa istrinya dengan penuh perasaan cinta sambil membelai rambut istrinya sebagaimana kebiasaan yang dilakukannya setiap pulang dari berdakwah. Akan tetapi ia sedikit terkejut dan heran, karena dilihatnya sang istri terkasih tidak mengenakan gelang dan kalung perhiasan. Ia pun bertanya kepada istrinya:

“Istriku, kemana gelang dan kalung perhiasan yang kau pakai di pengajian tadi? Kau tambah cantik dengan memakai perhiasan itu, istriku.” Tanya sang ustadz kepada istrinya sambil kembali membelai-belai rambutnya. Istrinya pun menjawab pertanyaan suaminya dengan penuh manja:

“Suamiku...! hampir semua majelis taklim kaum ibu yang mendengarkan ceramah di pengajian, tersentuh hatinya oleh materi ceramahmu tentang pentingnya berinfak di jalan Allah, termasuk istrimu ini. Bahkan aku pun ikut menagis pula tak bisa menahan haru. Setelah selesai, ibu ketua majelis taklim menyerukan kepada semua ibu-ibu anggota kelompok pengajian agar menginfakkan sebagian hartanya.  Maka dengan ikhlas penuh kesadaran sebagai umat Islam, aku pun menyerahkan pula gelang dan kalung perhiasan itu, bahkan sebagian harta yang masih ada akan aku serahkan pula untuk dikumpulkan oleh ketua pengajian yang selanjutnya akan diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.”

Mendengar jawaban dan penuturan istrinya, sang ustadz bukannya berbangga dengan apa yang telah dilakukan istrinya, tetapi malah kecewa dan sedikit marah:

“Aduh, aduh, aduh, bagaimana ini? Istriku! Semua kata-kata yang aku ucapkan dalam ceramahku tadi, itu bukan untukmu! Akan tetapi... untuk mereka hadirin kelompok pengajian yang lain, bukan engkau tahu!”

Nah, sobat! Jika kita cermati ilusterasi cerita di atas, tentu sangat paradok, bukan? Seorang penceramah yang mengajarkan ajaran syariat agama yang seharusnya harus dicontoh dan diteladani ucapan-ucapannya justru berbuat sebailiknya, tidak adanya satu kata dan perbuatan.  Bukankah Allah SWT berfirman, “Mengapa kamu suruh orang lain melakukan kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab. Tidakkah kamu berfikir?” (QS. Al-Baqarah:44)

Dengan demikian, sebelum menggebu-gebu menyuruh atau menasehati orang lain untuk berbuat baik atau berperilaku baik, sebaiknya terlebih dahulu melakukan perbuatan baik oleh diri sendiri. Sangat keliru dan salah besar jika menuntut atau menyuruh orang lain memiliki sifat-sifat baik sementara dia sendiri belum memiliki sifat-sifat tersebut. Orang bijak berkata, “Orang yang melihat dan mendidik dirinya sendiri adalah lebih berhak mendapat kehormatan daripada orang yang mendidik dan mengajari orang lain.”

Imam ‘Ali berkata, “Barang siapa menjadi pemimpin, hendaklah ia mulai dengan mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari orang lain, dan mendidik dengan perilaku sebelum dengan lisan.” (Khalil al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, hal. 25)

Demikianlah! Semoga ada manfaatnya, terutama untuk diri saya sendiri!

Referensi:
Khalil Al-Musawi,2002, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, Jakarta: Lentera.
Penulis:
Slamet Priyadi, Pangarakan - Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar